Senin, 29 Agustus 2011

Puisi Dani Saputri

DANI SAPUTRI, lahir di Kendal 15 September 1989. Akrab dipanggil Danisa atau Nezha. Ia anak tunggal, dan kini tercatat sebagai mahasiswa di Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Ungaran Jawa tengah. Tinggal di Asrama Akbid Ngudi Waluyo Ungaran Jalan Gedongsongo, Mijen Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa tengah. Hobinya membaca buku, menulis, mendengarkan musik dan bermain musik.

KOTAKU KEMBALI

Meski digempur badai bencana
Kau tetap berusaha berdiri
Meski banyak jerit tangis kehilangan
Kau tetap tegar untuk bertahan
Dan meski terasa pedih untuk didengar
Kau tetap kokoh untuk maju dan menyapu air mata yang telah banjir
Padang
itulah namamu
Kota yang diguncang gempa namun bangkit dengan seketika
Kota yang sempat mencekam penuh jerit dan ketakutan
Kini hadir dan menata hidup lagi
Kotaku kini kembali
Dengan seutas senyum penuh semangat
Kotaku telah kembali..
Itulah padang masa kini

MALIN KUNDANG

Malin Kundang
Cermin dari durhakanya seorang anak
Pada ibu yang tua renta
Keriput dan tak ada harta
Dan ditinggal pergi oleh anak tercinta
Yang berujung tak ada pengakuan untuknya
Dan kutukan jatuh pada anak semata wayangnya
Malin kundang
Cerita dongeng yang melegenda dari kota padang
Meski hanya singkat namun dalam maknanya
Malin kundang
Membawa nama kota yang elok dipandang mata
Itulah dia
Cerita rakyat dari Kota padang

Minggu, 28 Agustus 2011

Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional 2011 Berhadiah Wisata Sastra ke Malaysia

Kota Padang adalah kota terbesar di pesisir barat Pulau Sumatera. Sejak masa kolonial Hindia-Belanda, Kota Padang telah menjadi pelabuhan utama dalam berbagai produk dagang, khususnya rempah-rempah. Sebagai salah satu kota tua di Indonesia, Padang telah banyak menciptakan sejarah, baik di saat revolusi fisik dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang, hingga tragedi demi tragedi gempabumi yang banyak menjatuhkan korban jiwa dan harta benda.

Dalam rangka memberikan apresiasi dan menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra khususnya puisi, Ikatan Alumni SMA Don Bosco Padang menggelar Lomba Cipta Puisi bertema “Kado untuk Kota Padangku Tercinta”.

Tentu Anda pernah singgah atau menetap di Kota Padang bukan? Bila pernah, tuangkanlah segala ingatan Anda dalam bentuk puisi tentang kota yang memiliki Pelabuhan Teluk Bayur dan Legenda Si Malinkundang itu.  Siapapun boleh menulis puisi tentang Padang, tidak harus mereka yang tinggal di Kota Padang. Lomba ini bertujuan untuk menyebarkan semangat menulis puisi khususnya kepada siswa dan mahasiswa agar tumbuh kecintaan mereka menulis karangan.

Adapun ketentuan/kriteria Lomba Cipta Puisi ini sebagai berikut:

1. Peserta adalah Warga Negara Indonesia, termasuk yang berdomisili di luar negeri, tidak dibatasi umur (Pelajar, Mahasiswa, Guru, Umum, dll)

2. Naskah harus asli karya sendiri, bukan jiplakan atau terjemahan, belum pernah dipublikasikan, dan sedang tidak diikutsertakan pada lomba yang bersamaan.

3. Puisi Bertema: Kota Padang (sejarahnya, keindahan alam, potensi ekonomi, kemajemukan masyarakatnya, kuliner, pariwisata, dll)

4. Bentuk puisi bebas, halaman bebas, ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)

5. Pemenang akan diumumkan pada tanggal 15 Oktober 2011 di Blog http://www.padangdalampuisi.blogspot.com

Syarat Pengiriman Naskah:

1. Tulisan diketik rapi di kertas HVS A4/kuarto (jumlah halaman bebas)
2. Menuliskan Biodata Peserta (ditulis dalam bentuk narasi) disertai di lembar terakhir puisi
3.  Puisi yang diikutsertakan maksimal 2 (dua) judul
4. Puisi sesuai tema
5. Naskah dikirim via email ke panitia: padangkotaku@ymail.com (selambat-lambatnya 30 September 2011)
6. Naskah puisi yang diikutsertakan dalam lomba ini menjadi milik panitia (hak cipta tetap pada penulis) dan ditayangkan di blog http://www.padangdalampuisi.blogspot.com.
7. LOMBA TANPA DIPUNGUT BIAYA.
DEWAN JURI:
Dewan Juri terdiri dari para sastrawan, budayawan, penyair nasional dan penyair Sumatra Barat.
Keputusan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak dilakukan surat menyurat.
HADIAH PEMENANG

Juara 1:
Paket Perjalanan Wisata ke Malaysia + Uang tunai Rp1.000.000,- + Piagam Penghargaan + Paket Buku

Juara 2:
Paket Perjalanan Wisata ke Malaysia + Uang tunai Rp750.000,- + Piagam Penghargaan + Paket Buku

Juara 3:
Uang Tunai Rp500.000,- + Piagam Penghargaan + Paket Buku

TUJUH PUISI PILIHAN AKAN MENDAPATKAN PAKET BUKU DARI SPONSOR.
Demikian Pengumuman Lomba Cipta Puisi ini disampaikan, diharapkan kepada semua pihak dapat menyebarkan informasi ini seluas-luasnya dan semoga bermanfaat.

PANITIA PENYELENGGARA
IKATAN ALUMNI SMA DON BOSCO PADANG

Penanggung Jawab:

1. Dadang Gozali (Ketua Harian IADB)
2. Veridiana Somanto (Sekum IADB)

Ketua Panitia:
Sastri Yunizarti Bakry (Wakil Ketua IADB)

Sekretaris Panitia:
Nita Indrawati (Pemred Buletin Rancak IADB)

Sumber foto: http://niadilova.blogdetik.com

Puisi Agus Salim

AGUS SALIM, lahir di Sumenep, 18 Juli 1980. Lulusan D1 School Of Bussines Malang Jurusan Administrasi Perkatoran. Sejumlah puisinya pernah dimuat di Radar Madura Group Jawa Pos, Surabaya Post dan Suara Karya. Cerpennya pernah dimuat di Radar Madura Group Jawa Pos, Radar Surabaya Group Jawa Pos dan Surabaya Post. Berdomisili di Jalan Asoka No. 163 Pajagalan-Sumenep-Madura-Jawa Timur.

SILUET MERAH DI PANTAI PURUS

angin bergulir semilir
menyuguhkan sejuk pada kedua mataku.
siluet merah yang mengambang di wajah air
menggenapkan keindahan yang tak berhulu.

seperti dulu, aku selalu duduk di bawah tenda berwarna ungu
menghabiskan waktu senja yang segera terkilir.
merasakan aura riuh suara yang membangkitkan gairah kalbuku
untuk menghadapi waktu demi waktu bersama takdir.

oh, aroma nafas pantai tenang berwarna biru itu
selalu saja membangkitkan kenangan tentangmu.
adalah kita yang pernah menghabiskan manisnya cumbu
sembari bercerita tentang keindahan Pantai Purus yang biru.

"kita akan bertemu kembali di kota Padang ini. di pantai ini.
kita akan bercumbu lagi seperti sediakala.
aku pergi untuk sementara saja. jangan kau bersedih hati."

semenjak kepergianmu, aku selalu duduk sendiri
setiapkali senja datang dengan wajah ranumnya itu.
namun dengan senang hati kukabarkan kepadamu
bahwa pantai ini masih merindukanmu yang nisbi.

seperti aku yang selalu rindu pada siluet merah wajahmu.
seperti aku yang selalu rindu pada keindahan Pantai Purus itu.    

28/08/2011

DUKA 7,6 SKALA RICHTER

~mengenang gempa Kota Padang

bumi terguncang hebat
saat langit sedang berwarnah cerah.
seketika ribuan suara meraung-raung menyayat-nyayat
berhamburan seperti semut yang terhimpit gerah.
sangat jelas raut muka ribuan jiwa yang cemas
berlari kencang mencari tempat berlindung.

tangan-tangan kematian menjalari seluruh ruang
mengikuti setiap degup jantung yang resah dan bimbang.
7,6 skala richter maha dahsyat telah membelah kota
meruntuhkan keangkuhan dan kokohnya gedung-gedung,
tiang-tiang listrik, pohon-pohon, jalan dan jembatan 
juga melumat jiwa-jiwa tak berdosa.

di antara jasad-jasad yang terkapar.
di antara reruntuhan yang menjalar.
tumpahlah tangis-tangis duka.
menggemalah suara-suara duka.
semuanya memang terjadi dalam sekejap saja.
namun akan selalu terkenang sampai akhir masa.  

28/08/2011

Sabtu, 27 Agustus 2011

Puisi Lina Khoirunnisa

LINA KHOIRUNNISA, atau kerap dipanggil Lina lahir dan menetap hingga dewasa di kota Surabaya. Kini menginjak usia 17 tahun dan masih tercatat sebagai siswi salah satu SMA di Sidoarjo. Ia begitu mencintai sastra, terutama puisi. Ia berharap kelak suatu saat namanya dapat diterima sebagai salah satu sastrawan Indonesia.

SUATU HARI DI MUSIM TAWA 

Suatu hari di musim tawa
Daun-daun berbincang
Topiknya sama, Padang dan kegembiraan
Setelah sekian lama
Kini aku kembali ke sini
Tempat di mana aku membujuk hari, agar tak bertepi
Aku bukan bagian penting dari kota ini
Tapi kota ini bagian penting dariku
Padang, kini aku kembali
Berikan pelukanmu

Suatu hari di musim tawa
Ketika laut mengulum riaknya
Dan mentari memainkan sinarnya
Anak-anak kecil berlari
Menerjang, melebur
Menikmati  hembusan angin yang merajuk
Meski waktu menelan jaman
Kota ini tetap pada kesederhanaannya
Indah, dan menawan

Suatu hari di musim tawa
Ketika bunga-bunga mengembang
Dan awan beriringan
Mata-mata indah tersenyum padaku
Aku terpaku
Siapa aku?
Sungguh aku tak kuasa
Kota ini memang ramah
Aku kagum
Padang, berikan pelukanmu
Kuingin tetap begini
Menghabiskan Musim tawa tahun ini bersamamu


IBU DAN PADANG
 
Ibu dan Padang
Keduanya sama
Hangat, menenangkan
Ketika pelor menembus kulit, dan dosa menghantam kalbu
Aku tergugu, mati nuraniku
Kini aku terlilit bara kecewa
Saat tak ada tempat mengadu
Pilihanku tetap sama
Aku kembali
Kepada keduanya
Hanya keduanya
Aku menangis haru

Ibu dan Padang
Keduanya dingin, menyejukkan
Ketika panas membakar jiwa, dan hati terpaut dalam
Mata-mata runcing mengoyak dada, rasa nanar merasuk jiwa
Aku termakan takut
Inginku tetap sama
Kuingin keduanya
Tempat tak ada hina dan cerca
Di sana aku diasuh dan diberkati semesta

Kamis, 25 Agustus 2011

Puisi Aisyah Nurul Sarah

AISYAH NURUL SARAH, lahir di Jakarta 28 Oktober 1993. Meski keturunan Jawa, namun ia pernah sekali mengunjungi Padang untuk berlibur. Banyak kesannya tentang kota itu. Liburannya waktu itu sangat dekat dengan waktu gempa Padang. Bahkan ia sempat melihat langsung reruntuhan di Padang. Sekarang ia sedang menempuh pendidikan strata 1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia sangat hobi menulis. Mendapat banyak inspirasi dari pujangga asal Padang. Memakai nama pena dalam menulis Kumo to niji.

SUMATERA BARAT

Permai elok parasmu di waktu senja
Menorehkan harapan rumit bagi para pemujanya
Banyak adat tak mudah ditempa
Patuh bagi para pemudanya
Mereka tak mau durhaka padanya

Sungguh sejuk pagi indah di Sumatera Barat
Muda merantau ‘tuk taat adat
Melewati rintangan penuh penat
Untukmu sang Sumatera Barat

Lampau Sumatera Barat diguncang bencana
Rakyatmu tak keluh pada gempa
Sumatera Barat tak mati dalam duka
Hanya menjadikannya sebagai legenda
Walau harus kehilangan jiwa
Berkorban bnayak harta benda
Sumatera Barat, tetaplah jaya
Walau diterpa nestapa

Untukmu Sumatera Barat
Teguhlah merantau giat

MINANG CINTA KARYA

Banyak nian pesohor negeri telah berkembang
Mereka asal tempaan minang
Tersohor lantaran pandai rantau
Tersebar banyak di seluruh pulau

Minang, kau telurkan bibit akar tunggang
Tak goyah diterpa badai
Teguh walau yang lain tumbang
Tak tidur dengan angin sepoi
Kau rela dengan bintang memanggang
Tetap kau tanamkan diri bahwa hari belum usai

Amak…
Fajar ku akan merantau
Senja ku akan menuai
Tuk ciptakan minang penuh karya
Untukmu minangkabau…
Baktiku telah tunai
Menorehkan sebuah karya

Puisi Deni Arifin

DENI ARIFIN, lahir dan tumbuh besar di Kota Padang. Dilahirkan di Tanah Beroyo pada tanggal 1 Mai 1981. Selesai Kuliah di Universitas Andalas lalu merantau ke lain samudra dan ke lain pulau, dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik, dari Pulau Andalas Ke Pulau Borneo. Mencoba menguak misteri rantau batuah di ranah urang, Balikpapan. Bekerja sebagai Technical Assistant pada PT Kalimantan Prima Services Indonesia. Tahun 2004/2005 pernah menulis puisi dan cerpen yang di muat di Harian Lokal Sumatera Barat. Saat Kuliah aktif menulis pada Department Jurnalistik HIMASEKTA.

ENGKAU KOTA ADALAH CINTA

Wahai Kota, 
engkaulah surau di mana mimpi-mimpi pernah bersangkut paut pada doa sujud dan doa kanak-kanak selesai mengaji
engkaulah singgasana rumah gadang di mana cagar kultur dan pelangi tradisi indah bersanding
engkaulah halaman rumah di mana tepukan celana randai, gurindam dan saluang perlambang harmoni bersuara

Wahai Kota,
engkaulah karunia cinta kasih kami yang tersyukurkan dalam zikir khidmad
atas hikayat yang tergurindamkan dalam keras suara nafas para pelaut pada ganas sapuan gelombang
atas peradaban yang mengalir pada nadi para taipan pengembara singgah
dan atas jiwa yang terbangun dari keringat dan darah para pahlawan negri
bertaut nostalgia pada gedung-gedung Belanda lama, klenteng merah, mesjid India
dan Arau tepian samudra, muara tempat arus tak pernah kalahkan nyali kami para pendayung perahu naga

Wahai Kota,
jika engkau cinta kasih, engkau jugalah duka kini
yang tertulis pada hitam lumut dan rapuh bangunan bersejarah
yang terpahat pada kusut jejak pejalan kaki pada trotoar-trotoar yang menghitam cakrawalanya

Wahai Kota,
ingin kami syairkan bahwa kini dalam kebaharuan engkau kota adalah janji
engkaulah janji sang pukat pada sampan-sampan nelayan
enkaulah janji putaran roda bendi pada gemeretak letih sepatu kuda
engkaulah janji pundi-pundi pada  pelataran kaki lima di bawah-bawah naungan mall dan plaza mewah
engkaulah janji papan tulis pada cita-cita bangsa untuk bangun  jiwa raganya
engkaulah janji di depan kitabullah, di depan tugu pahlawan, di depan bendera
serupa sumpah yang sayut-sayut sampai

Wahai Kota,
jika engkau restu dalam lautan sati, maka engkaulah labuhan tempat kami kembali
jika engkau restu dalam rantau batuah, maka engkaulah ranah tempat kami mengabdi
karena engkau adalah cinta

Ode Untuk Kota Padang. (Ranah Rantau Balikpapan, 23 Agustus 2011.)

Puisi Setio Hadi (Es Hadi)

SETIO HADIA (ES HADI), dilahirkan di kota kecil di Tulungagung, salah satu kota di Propinsi Jawa Timur. Sampai sekarang berdomisili di kota ini. Aktif menulis atau menyukai tulis-menulis setelah membaca buku novelnya Romo Mangun Wijaya yang bertajuk Burung-burung Manyar. Saking sukanya dengan buku itu salah satu anaknya yang lelaki diberi nama mirip tokoh dari novel tersebut, yakni ‘Setodewo’. Hanya tulisan-tulisannya selama ini belum pernah terpublikasi di media cetak manapun. Tulisannya yang berupa puisi, cerpen atau bentuk futures sudah tertayang di media online KabarIndonesia dan mailing list.
Sedang tulisan yang sudah dibukukan ada dua, yang pertama berupa antalogi novelette dengan judul Jejak-jejak Cahaya, dalam buku tersebut ia menulis Episode Sunyi terbitan Indie Publishing. Sedang buku keduanya yang terbit adalah Antologi Kemanusiaan dengan judul Serat Duka Negeriku, ketika terjadi bencana Erupsi Gunung Merapi dan Tsunami Mentawai 2010, terbitan PenaAnanda Indie Publhising. Dalam waktu dekat, ia akan menyelesaikan sebuah novel dengan judul Orang-orang sendiri. Sekarang ini ia bersama kawan-kawannya di Tulungagung sedang ber ‘proses’ bersama dalam wadah klubnya yang bernama ‘Pena Tenggara’.

NAMAKU MALIN

yang harus menerima buah kutuk bundo
demi semangatku memetik bintang
melepaskan kulit budak jelata
yang kusandang terlalu lama

kutinggalkan ranah minang nan amboi
kutegakan sanak pinak melepasku pergi penuh linang
namun hatiku sudah kaku sekaku citaku pada niat merubah nasib
hingga tak mengindahkan nantinya air susu terbalas air tuba

hikayatku jadi lebih menyakitkan
ketika kembali sebagai si anak hilang yang nyata gemilang
mendadak mataku buta tersaput gelora kemewahan
hilang sudah rasa belas sayang kepada kerabat
yang mengingatkan untuk tidak menolak pada rahim

tetapi aku tetap khilaf
malah meronta menantang langit
untuk menjatuhkan kutuk bundo jadi menimpa

jledaarr !! awan gelap meradang semesta mendendam
kutuk sumpah yang terlanjur diucapkan bundo setengah hati
menghantam tubuhku merubahnya menjadi batu diam

pedih di mato sakitnya dekat di hati
sebenarnya bukan pada kutuk serapah itu akhirnya
aku mengerang diam menjadi batu
kerna sang bundo diamdiam tetap kuhayati
sebagai bidadari yang amat setia
menari di atas onak duri demi anaknya ini

tetapi lebih pada kutinggalkan jejak durhaka
dalam menutup pintu rapat-rapat masa lalu
sehingga lupa pada segala dan asal

pada sunyi batu diriku sekarang
aku mengadu dengan sangat sesal
atas nafsu pongah yang meruah
sampai mengahalangi tabiat untuk mencinta
kepada rahim yang pernah melahirkanku

dalam letih dipagi sendiri
bundo mendatangi tempatku disumpah
lalu berbisik takzim di sampingku

“kutuk laknatku tak akan kulepaskan padamu
seandainya waktu itu engkau tidak
sedang berlagak amnesia”

Tulungagung, Agustus 2011

Puisi M. Bahrum Ulum

M. BAHRUM ULUM, dilahirkan oleh seorang perempuan bernama Siti Maesaroh di Kabupaten Jember, Jawa Timur, tepatnya di Desa Sumberan Kecamatan Ambulu, tanggal 4 Juli 1989. Sejak tahun 2009, tepatnya setelah kembali menulis lagi (pernah frustasi tak mau menulis karena karyanya sering ditolak oleh media cetak dan penerbit) ia memakai nama pena Nyangtu Kaleh Legowo. Sekarang tinggal di sebuah tempat yang sangat damai dan tentram. Yaitu di Pomosda (Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa). Selain mondok, ia juga bekerja di Dapur Timur. Sebuah tempat yang di khususkan untuk memasak menu-menu santri putra.

MALIN KUNDANG

Di sini
Di sudut tempat menyimpan penat
Seorang perempuan merajut rindu
Setiap hari ia berdoa
Setiap hari merindukanmu
Mengharap restu tuhan agar kau bahagia selalu

Dulu
Perempuan itu menemanimu saat kau sendiri
Dialah penyemangat hidup saat kau menyerah
Sekilas lekas dia memang hina, nista, dan lusuh
Ia memang seperti sampah yang harus di buang ke pelimbahan

Tapi surgamu di kakinya
Kau pernah hidup dalam rahimnya
Ridho tuhan ada padanya
Dan semuanya kini tak lagi ada guna
Sia sia

Kau seperti pagi yang lupa sore hari
Kau seperti bintang yang tak kenal matahari
Kau seperti kacang lupa kulit
Kau seperti telinga kanan yang najis menyapa telinga kiri
Dan kau adalah manusia tak berperasa

Segelas susu kau balas tuba sebaki
Benar benar gila
Hanya karena olesan gincu dan kemilau dunia
Ini benar benar mengenaskan

Kediri, Ramadhan 20 Agustus 2011

Puisi Dina Purnama Sari

DINA PURNAMA SARI, bekerja sebagai dosen di Akademi Bina Sarana Informatika Jakarta. Beberapa karyanya yang telah dipublikasi: Buku OMG! Ternyata Aku Terlahir Sukses! (Citra Risallah, Yogyakarta, 2010), Sederhananya Cinta Deasy Lyna Tsuraya (Penerbit Indie Publishing, editor), Jadilah Pribadi yang Baik  (BSI NEWS, Edisi 28/Tahun 2-Oktober 2009/1430 H), Waktu yang Tepat untuk Berpisah (Kumpulan Cerita Cinta, Edisi 17/2004), Saat Tepat Menangguk Untung (Republika, Sabtu 2 Desember 2000), Please Apologize (Puisi, Contact Magazine, Volume 5. No. 28, March-April 1998), Kisah Sedih di Hari Minggu (Cerpen Aneka, No.04, TH VIII, 13-26 Februari 1997), Satu Bintang, antologi bersama Chlara Yulia (September 2004), Kumpulan Cerpen dan Puisi 090909 (ebook), Dina... Dina... Dina... There is something about her... (ebook), Artikel 9: Terbaik Untukmu (ebook, Februari 2010), dan Cerita Cinta: Ouch! (ebook, Januari 2009). Berdomisili di Jalan Singgalang V/22, Komp. Dep. Keuangan, Karang Tengah, Tangerang 15157, Banten.

ADA CINTA

Semilir angin seolah tak mampu menumbangkannya
Sebutir embun di pagi hari pun takkan mampu
Sinar matahari yang panas pun tak mampu menghalaunya

Entah sampai kapan hal ini akan berakhir....
Selalu ada cinta untukmu....
Padang yang selalu kucinta....

BUKITTINGGI

Aku mengerti....
Kota itu memang sejuk
Sesejuk sorot matamu saat memandangku

Aku mengerti....
Kota itu indah
Seindah kenangan manis yang pernah kita nikmati di sana

Aku mengerti
Kota itu hijau
Sehijau kebaya yang kau berikan kepadaku

Aku mengerti
Ketika kau ingin kembali ke sana dan....
Mengajakku ke sana serta menghabiskan sisa hidup di sana....

Puisi Rizki Saputra

RIZKI SAPUTRA, adalah eks Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Padang (UNP), Kota Padang, Sumatera Barat.
081363032676

SURAT UNTUK KOTAKU

Padang kota tercinta, ku jaga dan ku bela.
Segenggam spirit yang tak pernah padam dan bergema di jiwaku.
Sebongkah semangat yang selalu terpatri di ragaku.

Aku memang tak terlahir di ranahmu.
Darahku pun memang tak tertumpah di tanahmu.
Namun satu hal yang harus kau tahu, begitu besar kerelaanku berkorban untuk membela harga dirimu.

Sungguh tak terhitung banyak dan besarnya jasamu.
Kau berikan tanpa sempat ku balas dengan imbalan.
Kau ajari aku arti hidup lewat alam dan masyarakatmu.
Kau temani masa remaja hingga ku beranjak dewasa.
Kau dampingi ragaku mencari ilmu sebagai bekal mengarungi tajamnya kerikil kehidupan berdebu.

Hari ini, aku memang tak lagi menginjak tanahmu.
Dan kini ku sudah tak lagi berteduh di langitmu.
Saat ini, karena jasamu.
Ku telah berhasil mencicipi manisnya sedikit hasil keringat jerih payahku.
Dan kini berkat jasamu, ku bisa tersenyum menyongsong masa depan, menatap secercah cahaya harapan yang mulai benderang di ujung jalan panjang berliku.
Berkat jasamu, sungguh semua berkat jasamu.

Kini aku pun sadar, belum ada yang bisa ku persembahkan padamu.
Belum sanggup rasanya ku membalas kebaikanmu.
Hanya sepotong doa yang bisa ku lantunkan di hari seluruh insan negeri mengenang kebebasannya 66 tahun silam.

Besar harapku, engkau menjadi negeri yang makmur, tetap sejahtera dan aman dari kemurkaan alam.
Menjadi negeri yang selalu menggemakan dan mengagungkan asma Allah.

Padang kota tercinta, yang akan selalu ku jaga dan ku bela
meski ragaku tak lagi disana.

Puisi Zulfikar, S.Sn

ZULFIKAR, S.Sn, berasal dari Provinsi Aceh. Alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang. Bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Sekarang tinggal di Kota Medan, Sumatera Utara.

PADANGKU

Terkenang satu masa
Pesona tentang alam
Sulit dilupakan
Semua kenangan indah

Laut, kota, budaya, sampai cultur unik
Nama mu memuncak singasana gonjong
Menerjang langit biru
Budaya menghempas luas jajaran samudra
Negri kayangan adi kuasa mengakui

Gemilang tradisimu mata dunia
Sulit menutup mata
Menghempas kepinggir penangkal ombak

Berat dicoba berbagai keadaan
Pilu insap tangis mengkwatirkan

Syair-syair indah saluang mengaung sepanjang masa
Bansi mengelempar dinding
Lutut bergeletar
Tak berdaya menahan irama mematikan penikmat


Budaya tradisi menyonsong cerita lama
Kata pepatah “adait bersandi syarak, syarak bersandi kitabbullah
Ini ikral melekat

Sungguh hebat tari dipersembahkan pada dunia
Mematikan rasa tari silek
Sulit diterjemah para penjajah
Kagum tak terhingga
Sulit melupakan arwah mu

Berkiprah terus
Menyongsong matahari seperti lumatan panas
Jaya sepenjang masa
Agar jiwa damai
Memeluk dalam angan

Medan, Agustus 2011

BUNDO KANDUANG

Bisik mendesing Minangkabau
Memperkarsai satu adat
Bibir lantam terbujur kaku
Mengoyak tunduk
Keibuan menjadi tauladan

Minangkabau harum dipusaran
Rumah adat pelita
Mamak dalam mufakat
Terbukam melihat
Keras nama itu

Harta pusako terbentang
Tertutup diam
Kunang luput kehampaan
Terbungkus indah
Tak mampu koreksi

Desir sudah
Takut seketika
Buka aura
Mata terpejam
Kuat aliran itu
Tertumpuk habis kubangan

Alek Nagari
Dia pemengang
Cerita indah terkenang

Mengaung menakutkan
Hening malam terpaku
Lentera bak buaian
Wajah hitam
Kibar hati
Rona merah
Darah bercucuran
Padi kuning
Sumber kehidupan
Membawa kedamaian

Rasukan mimpi terbelenggu
Hempas angin
Membius tajam pemimpin

Reda sudah
Kalimat kata menunduk
Bara hati membisu
Kemana saat itu
Pelupuk mata henti
Hanya suratan
Jadi himbauan

Sungguh sedih
Berada sisi nyata
Tak mampu mengadu

Buka catatan itu
Kata baik indah
Adakah dunia terdiam
Air tergenang
Bak sungai mengalir deras,,

Medan, Agustus 2011

Puisi Dian Alfi Rahmi

DIAN ALFI RAHMI, lahir di Bukittinggi, 1 Januari 1997. Sekarang duduk di kelas III Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Bukittinggi. Beberapa karya puisinya pernah dimuat di Padang Ekspres dan Singgalang. Ia tinggal di Desa Guguak Tinggi Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.

PADANG DALAM HATI

Kota padangku kokoh berdiri
Sejak di dunia ini, belum ada aku lagi
Walaupun aku terlahir di bukittinggi
Namun kota padang selalu di hati
Kini,
Telah lama tak ku jumpai, padang
Namun keindahanmu selalu terbayang
Kecantikanmu terus terngiang

Padang
Diusiaku yang baru seumur jagung
Tak banyak hal
Tak banyak sesuatu
Yang dapat ku beri dan ku persembahkan untukmu
Mungkin hanya secarik kertas
Sebuah puisi
Dan sepucuk do’aku untukmu
Padang,
Semoga diusiamu yang kini tak dini lagi
Lantas tak menjadikanmu rapuh,
Lapuk dan lelah untuk berdiri
Padangku, ku mohon dengarlah puisiku

Dan Tuhanku,
Terimalah do’aku untuk kota Padang

KILAU REMBULAN DI PUNCAK PADANG

Kakek,
Rupanya dirimu tak lagi muda
Kilauan dirimu terpantul di kelam senja
Ku salut dengan perjalananmu
Ku salut melihat perjuanganmu

Kakekku,
Telah 342 tahun usiamu
Menemani riak-riak pantai bersuara surga
Dari atas ini ku meminta tetaplah kuat
Teruslah kokoh
Karena ku tahu kau tak pernah rapuh

Kakekku, padangku, tanah leluhurku
Terima kasih telah bertahan
Terima kasih kau telah buktikan
Kau tetap terlihat kuat dan gagah
Di atas berbagai terpaan hingga cobaan
Kakekku, padang tercinta
Gempa itu memang meluluh-lanahkanmu
Namun padangku,
Dirimu memang lebih hebat dari yang aku tahu

Sedikit dariku, ingin ucapkan
Dari cerahnya sinar bulan
Hanya kau yang terindah
Dari beribu kilauan, hanya dirimu yang membuatku terkesan

Selamat ulang tahun kakekku
Selamat ulang tahun kota padangku
Harapanku agar tuhan selalu menguatkanmu,
Mengokohkan pondasimu
Sebagai tempat berdiamku
Wahai Padang kota tercinta

Puisi Budi Saputra

BUDI SAPUTRA, lahir di Padang, 20 April 1990. Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Menulis cerpen, puisi, dan resensi. Tulisannya pernah dimuat di Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan. Ia diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V Palembang (2011) dan tergabung dalam antologi puisi Akulah Musi. Salah satu cerpennya tergabung dalam antologi 25 cerpenis Sumatera Barat Potongan Tangan di Kursi Tuhan (2011).

PADANG KOTA LAMA

Di Batang Arau, di sebuah kota lama dalam nganga sejarah.
Bertahun-tahun hidup tak ubahnya serupa riwayat daun
atau sebuah pelabuhan.

Di kota lama, kenanglah pasar-pasar lama yang juga dipenuhi
perempuan-perempuan lama: Indo, Cina, Arab, India, atau pun Minang.
Di Pasar Gadang, Pasar Mudik, dan Pasar Tanah Kongsi
tempat bagian zaman bertelur, beraksitektur-arsitektur dari
setubuh ragam etnik yang bercampur.

Dan tentang Gunung Padang, kapal-kapal yang lintang pukang
saban hari membelah Arau. Bertahun-tahun kemudian hanyalah
bocah-bocah kami mendongak dan melongoh pada tanah sendiri.
Meraba diri sendiri sebagai terlahir
dan pemburu matahari. Mereka yang kerap kali menyeberang
dengan biduk-biduk kecil setiap sekolah pagi, butuh bertahun-tahun
untuk memafhumi rupa sisa zaman. Sisa zaman yang membeku pada
heritage-heritage yang berlahiran dulu. 

Padang, 2011

PANTAI PURUS TEPI KOTA

Di pantai ini, yang meski kita raba dan bayang adalah tentang
keinsafan dan kejujuran abad. Ketika kolonial berhamburan,
di Kuranji atau di sungai banjir kanal yang kini terus tumbuh
dalam euforia dan histeria kota, maka kau lihatlah abad-abad
kota ini yang berdandan dengan caranya sendiri. Gubernur yang
silih berganti, pasar-pasar yang tumbuh, bocah-bocah sekolah
yang penuh sesak di tiap paginya, hingga rumah sakit tempat
usiamu menetas, ternyata telah banyak mengalami pemugaran.

Di pantai ini, maka bayangkanlah sebuah muara, sebuah ujung,
dan segenap beban kota yang tidak saja tinja, sampah perumahan,
bangkai anjing, alat kontrasepsi, atau tangisan lampau yang
kentara di barak-barak pengungsian. Lebih dari itu, sesungguhnya
adalah perguliran masa itu sendiri. Pantai ini kerap kali
menyisakan kepedihan. Bocah-bocah yang raib digulung ombak,
lalu ibunya menjerit, meratap, dan tercatat sendiri sebagai
catatan silam kelabu kota. Sedang di luar itu, tentu segalanya
masih terus mengalir bagai hulu dan hilir sungai. Bagai
tikus-tikus yang berdesakan dalam sebuah lingkaran. 

Pantai ini adalah sebuah tepi. Dan dalam gemuruh ombaknya,
maka bacalah! Ternyata telah berabad-abad sudah kota ini
menyusui segenap kelahiran, segenap jejak yang punya impiannya
sendiri-sendiri. Sebagaimana tentang bocah-bocah yang kau
tunjuk di sekolah dasar dan pusat perbelanjaan itu. Apakah kelak hanya
membayangkan kelamin di hotel-hotel yang bangkit dari sakit, euforia
malam minggu, hingga kejujuran dan kemaluan yang tergadai?

Padang, 2011