Kamis, 25 Agustus 2011

Puisi Budi Saputra

BUDI SAPUTRA, lahir di Padang, 20 April 1990. Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Menulis cerpen, puisi, dan resensi. Tulisannya pernah dimuat di Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan. Ia diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V Palembang (2011) dan tergabung dalam antologi puisi Akulah Musi. Salah satu cerpennya tergabung dalam antologi 25 cerpenis Sumatera Barat Potongan Tangan di Kursi Tuhan (2011).

PADANG KOTA LAMA

Di Batang Arau, di sebuah kota lama dalam nganga sejarah.
Bertahun-tahun hidup tak ubahnya serupa riwayat daun
atau sebuah pelabuhan.

Di kota lama, kenanglah pasar-pasar lama yang juga dipenuhi
perempuan-perempuan lama: Indo, Cina, Arab, India, atau pun Minang.
Di Pasar Gadang, Pasar Mudik, dan Pasar Tanah Kongsi
tempat bagian zaman bertelur, beraksitektur-arsitektur dari
setubuh ragam etnik yang bercampur.

Dan tentang Gunung Padang, kapal-kapal yang lintang pukang
saban hari membelah Arau. Bertahun-tahun kemudian hanyalah
bocah-bocah kami mendongak dan melongoh pada tanah sendiri.
Meraba diri sendiri sebagai terlahir
dan pemburu matahari. Mereka yang kerap kali menyeberang
dengan biduk-biduk kecil setiap sekolah pagi, butuh bertahun-tahun
untuk memafhumi rupa sisa zaman. Sisa zaman yang membeku pada
heritage-heritage yang berlahiran dulu. 

Padang, 2011

PANTAI PURUS TEPI KOTA

Di pantai ini, yang meski kita raba dan bayang adalah tentang
keinsafan dan kejujuran abad. Ketika kolonial berhamburan,
di Kuranji atau di sungai banjir kanal yang kini terus tumbuh
dalam euforia dan histeria kota, maka kau lihatlah abad-abad
kota ini yang berdandan dengan caranya sendiri. Gubernur yang
silih berganti, pasar-pasar yang tumbuh, bocah-bocah sekolah
yang penuh sesak di tiap paginya, hingga rumah sakit tempat
usiamu menetas, ternyata telah banyak mengalami pemugaran.

Di pantai ini, maka bayangkanlah sebuah muara, sebuah ujung,
dan segenap beban kota yang tidak saja tinja, sampah perumahan,
bangkai anjing, alat kontrasepsi, atau tangisan lampau yang
kentara di barak-barak pengungsian. Lebih dari itu, sesungguhnya
adalah perguliran masa itu sendiri. Pantai ini kerap kali
menyisakan kepedihan. Bocah-bocah yang raib digulung ombak,
lalu ibunya menjerit, meratap, dan tercatat sendiri sebagai
catatan silam kelabu kota. Sedang di luar itu, tentu segalanya
masih terus mengalir bagai hulu dan hilir sungai. Bagai
tikus-tikus yang berdesakan dalam sebuah lingkaran. 

Pantai ini adalah sebuah tepi. Dan dalam gemuruh ombaknya,
maka bacalah! Ternyata telah berabad-abad sudah kota ini
menyusui segenap kelahiran, segenap jejak yang punya impiannya
sendiri-sendiri. Sebagaimana tentang bocah-bocah yang kau
tunjuk di sekolah dasar dan pusat perbelanjaan itu. Apakah kelak hanya
membayangkan kelamin di hotel-hotel yang bangkit dari sakit, euforia
malam minggu, hingga kejujuran dan kemaluan yang tergadai?

Padang, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar