SETIO HADIA (ES HADI), dilahirkan di kota kecil di Tulungagung, salah satu kota di Propinsi Jawa Timur. Sampai sekarang berdomisili di kota ini. Aktif menulis atau menyukai tulis-menulis setelah membaca buku novelnya Romo Mangun Wijaya yang bertajuk Burung-burung Manyar. Saking sukanya dengan buku itu salah satu anaknya yang lelaki diberi nama mirip tokoh dari novel tersebut, yakni ‘Setodewo’. Hanya tulisan-tulisannya selama ini belum pernah terpublikasi di media cetak manapun. Tulisannya yang berupa puisi, cerpen atau bentuk futures sudah tertayang di media online KabarIndonesia dan mailing list.
Sedang tulisan yang sudah dibukukan ada dua, yang pertama berupa antalogi novelette dengan judul Jejak-jejak Cahaya, dalam buku tersebut ia menulis Episode Sunyi terbitan Indie Publishing. Sedang buku keduanya yang terbit adalah Antologi Kemanusiaan dengan judul Serat Duka Negeriku, ketika terjadi bencana Erupsi Gunung Merapi dan Tsunami Mentawai 2010, terbitan PenaAnanda Indie Publhising. Dalam waktu dekat, ia akan menyelesaikan sebuah novel dengan judul Orang-orang sendiri. Sekarang ini ia bersama kawan-kawannya di Tulungagung sedang ber ‘proses’ bersama dalam wadah klubnya yang bernama ‘Pena Tenggara’.
NAMAKU MALIN
yang harus menerima buah kutuk bundo
demi semangatku memetik bintang
melepaskan kulit budak jelata
yang kusandang terlalu lama
kutinggalkan ranah minang nan amboi
kutegakan sanak pinak melepasku pergi penuh linang
namun hatiku sudah kaku sekaku citaku pada niat merubah nasib
hingga tak mengindahkan nantinya air susu terbalas air tuba
hikayatku jadi lebih menyakitkan
ketika kembali sebagai si anak hilang yang nyata gemilang
mendadak mataku buta tersaput gelora kemewahan
hilang sudah rasa belas sayang kepada kerabat
yang mengingatkan untuk tidak menolak pada rahim
tetapi aku tetap khilaf
malah meronta menantang langit
untuk menjatuhkan kutuk bundo jadi menimpa
jledaarr !! awan gelap meradang semesta mendendam
kutuk sumpah yang terlanjur diucapkan bundo setengah hati
menghantam tubuhku merubahnya menjadi batu diam
pedih di mato sakitnya dekat di hati
sebenarnya bukan pada kutuk serapah itu akhirnya
aku mengerang diam menjadi batu
kerna sang bundo diamdiam tetap kuhayati
sebagai bidadari yang amat setia
menari di atas onak duri demi anaknya ini
tetapi lebih pada kutinggalkan jejak durhaka
dalam menutup pintu rapat-rapat masa lalu
sehingga lupa pada segala dan asal
pada sunyi batu diriku sekarang
aku mengadu dengan sangat sesal
atas nafsu pongah yang meruah
sampai mengahalangi tabiat untuk mencinta
kepada rahim yang pernah melahirkanku
dalam letih dipagi sendiri
bundo mendatangi tempatku disumpah
lalu berbisik takzim di sampingku
“kutuk laknatku tak akan kulepaskan padamu
seandainya waktu itu engkau tidak
sedang berlagak amnesia”
Tulungagung, Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar