Jumat, 30 September 2011

Puisi Putri Nadia Afri

PUTRI NADIA AFRI, lahir di Pariaman 1 November 1991. Memiliki dua orang saudara, memiliki satu ayah (alm.) dan satu ibu. Beragama Islam. Saat ini sedang melanjutkan belajar di Universitas Negeri Padang, semester 3 jurusan Sastra Indonesia. Alamat di Padang Jalan Puyuh No. 7 Air Tawar (Asrama Putri Catelya).

FATAMORGANA YANG NYATA

Rangkaian kata terucap di bibir
Ketika melihat semuanya
Disaat mendatangi tempat ini
Begitu banyak keindahan yang terpajang di tempat ini
Pembagian yang begitu alami
Tidak dapat dibayangkan keindahan itu dengan ucapan
Kedatanganlah yang menjadi buktinya

Padang……
Kata itu yang menjadi tempat pertamaku
Dan menjadi tempatku saat ini
Fatamorgana yang terlihat kini menjadi butiran keindahan
Yang jika dikumpulkan akan sangat banyak kealamiannya

Sebagian tempat yang kudatangi sudah menjadi kebanggaan diri
Disini tempat terindah yang kudatangi
Kerlipan lampu malam setiap jalan
Menambah semarak kota ini
Karena tempat ini sangat terlihat berharga jika malam tiba
Kealamiannya begitu nyata

Sungguh karunia tuhan yang maha dahsyat
Atas restu-Nya aku dibawa kesini
Ku nikmati tempat ini
Kurasakan angin pagi yang datang
Berbahagialah menjadi bagian dari ciptaan ini

Fatamorgana itu telah nyata
Fatamorgana itu telah ada di depan mata
Bisa dinikmati dengan lapang dada
Terasa hangatnya…..

Padang Membawa Cerita
Kisah itu yang memulai keindahan
Penjajahan yang berkepanjangan
Saling merebut kekuasaan
Setiap ego dipertahankan

Datang sebuah kisah
Diawali dengan kawin paksa

Ya….
Itulah Siti Nurbaya
Kisah dari padang
Yang telah membantu
Memudarkan kekuasaan yang berkepanjangan
Peningkatan karya-karya indonesia
Padang memulai semuanya
Kota sastra yang indah bagi saya
Kisah itu patut dijadikan kebanggaan padang
Berbahagialah kita
Tunjukkan senyuman lebarmu

Puisi Sujud Arismana

SUJUD ARISMANA, nama pena dari Pujiono Slamet. Kelahiran Blora 8 Agustus 1981. Tinggal di Pekanbaru, menulis puisi, cerpen, dan novel. Aktif di FLP Pekanbaru dan bergiat di Komunitas ALINEA Pekanbaru.

MERIPIH HENING DI KOTA PADANG

kubilas jeritmu
yang tak kunjung redam
mengerang-erang
gaduhkan duniaku

darahmu teralalu anyir
menyesak rasaku
melibihi wirama sendu
yang melebam

pohon dan ranting
laun-laun mengering
dekam kematian
yang berkarat

rumah gadang kita
                        dan taman siberut kita
                                    telah kejang
                        membelai jerit tangismu

                                    kulepar selindap tirta
                        yang menggegar
                        mentawai
                        renggut akar jiwa
di sebatang arau
yang terpiuh

mengapa harus ada gempa?
jika pelipur laramu
meracaukan
kampung monte
yang hilang!

Tuhan..
masih kusimak
mayat-mayat hening
yang bertapa kaku
di nagari-Mu
bermuka masam
dengan seluang pilu
bertalu-talu

Pekanbaru, September 2011

SEKERLIB MATA NURBAYA

: Siti Zakiah Nuraini

kibasan angin
menyambar teluk bayur
menanam tilas-tilas
sang malin kundang
yang membatu

segera kugoreskan matahari
di puncak singgalang
memikat burung kedasih
yang gusar
merekat cinta sepuh

ranah minang…!
kukenali kau
lewat catatan khusuk
anak rantau
sepelik isyarat Tuhan
yang merecah
di bukit padang

tidakah terwatas rupamu
menjangkau 
pantai air manis
yang tersendat
membelai risak ajalmu

musik talempong
dan tarian piring
masih mengendap,
di ubun-ubunku, sayang?

Tolong…
kembalikan sekerlip
mata nurbayamu
yang pernah kunikmati
bersama sajak-sajak gempa
sebelum tuntas merincis
kenangan di kota debu

Pekanbaru, September 2011

Puisi Fhadilla Amelia

FHADILLA AMELIA, lahir di Batusangkar, 19 Mei 1993. Tinggal di Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia Gedung E1 lantai 3 No.11, Komplek Universitas Indonesia, Depok. Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Gizi di Universitas Indonesia.

TANAH HARAPAN

Aku berfilosofi akan roh pada tanah harapan
Dalam rembulan nan kini disegitigakan rayuan
Udara berkutat bersama idiosi zaman
Nafas nan kuseduhpun berbau jamban

Aku rindu rembulan bulat penuh
Kala angin malam nyanyikan lagu syahdu
Kunang-kunanh berikan cahaya,’tuk tanah harapan

Aku cinta tanah pujangga
Jutaan kata indah bak bunga merona
Ribuan kuister kamil gelayuti,tanah harapan

Aku mendegup jantung ‘tuk sebuah pembaharuan
Atas nama jiwa pencinta surgawi,
Biarlah ku mendayung tanpa henti
Semua demi tanah harapan

Purnama tak selalu kuning
Laksana awan kelabu tak selalu kelam
Tapi,mentari selalu ada
Menemui penantian
Nan berujung pada kebahagiaan

Depok, 19 September 2011

Puisi M. Iqbal Sabit

M. IQBAL SABIT, kelahiran Kepahiang 29 November 1997. Bungsu dari 5 bersaudara ini bercita-cita menjadi seorang presiden. Saat ini sedang duduk di bangku sekolah SMP kelas 9 yang mempunyai hobi menciptakan puisi, membacakan dan suka menyanyi. Pernah menjuarai baca puisi di tingkat Kabupaten. Berkeinginan melebarkan sayapnya di dunia seni, khususnya di bidang puisi.

SYAIR REMBULAN

Sebuah kota yang sederhana
Alam yang utuh, masih terjaga
Kebiasaaan terulang
Kicauan kenari dan kumandang adzan
Yang memecahkan kesunyian
Serta akhir sebuah mimpi yang manja

Kumulai hariku
Ku menyapa dengan senyum riang
Untuk kota Padangku tersayang
Kubergegas sekolah dengan hati tegas dan ikhlas

Lonceng berdentang
Itu tandanya ku pulang dan ke ladang
Terik matahari yang panas
Tak membuatku merasa letih dan malas

Ku harus pulang
Melihat ayam jantan yang bungkam
Matahari yang terbenanm
Menandakan menjelang malam

Angin yang kencang
Meniupkan, membisikkan sebuah gerangan
Ku tak mengerti bahasa alam
Tapi aku mengerti perasaan alam

Kuciptakan syair-syair tentang bulan
Dengan sebuah kata rembulan
Aku berjuang bukan untuk perang
Denyut nadi dan denyut jantung
Raga serta batinku
Semua harapan tujuan yang kutimang
Hanya untuk kotaku, Padang....

KOTA SURGA

Sejuta tentang panorama
Yang selalu bergema di telinga
Angin bagaikan malaikat
Yang tak pernah penat
Mengucapkan kata cepat
Menunjukkan sebuah tempat

Ada sebuah tempat
Yang terkenal di mancanegara
Dia bukan sebuah negara
Hanya sebuah kota
Yang rakyatnya ramah dan tamah

Ku melangkah
Menuju tanah surga
Terdengar nyanyian sepasang burung dara
Tak terucap satupun tutur kata
Hanya perasaan-perasaan terkesima
Melihat alam yang seutuhnya terjaga

Padang, tempat terakhirku pulang
Untuk merasakan perasaan damai dan tenang
Kota yang tenteram
Tanpa gangguan sang perusak alam.

Puisi Revika Niza Artiyana

REVIKA NIZA ARTIYANA, lahir di Kulon Progo, 23 April 1995. Tinggal di Mabeyan, Karangsewu, Galur, Kulon Progo, Yogyakarta. Saat ini sekolah di SMA Negeri 1 Bantul kelas XI. Cita-cita ingin menjadi dokter.

TOREHAN DARAH BERUJUNG EMAS

Padangku. . .
Tiadalah asa bagimu masa dulu kala
Tetapi kini asa itu datang menuju kotamu
Kota sejarah
Kota siti nurbaya
Kota malin kundang
Kota tsunami
Dan kini menjadi kota yang baru
Kota yang terang
Kota yang penuh harapan
Seakan bangun dari tidur panjang
Seakan terbebas dari mimpi buruk
Mimpi  buruk yang membelenggu ribuan jiwa
Mimpi yang haus kekuasaan
Kekuasaan yang haus penderitaan
Dan penderitaan yang haus cucuran darah
Padangku. . .
Tiada kata lain bagimu
Tiada seruan lain bagimu
Dan tiada bisikan lembut untukmu
Selain bangunlah wahai Padangku
Kobarkan apimu
Tegakkan kotamu
Kota yang berpondasikan atas jiwa yang suci
Jiwa yang kuat nan tangguh
Kota yang bertubuhkan semangat juang
Pantang menyerah
Kota yang berkepala asa
Asa nan suci untuk negeri
Asa yang membebaskan setiap insan
Setiap ruh yang berjiwa
Dan asa yang yang mengubah gelap
Menjadi sebuah mimpi yang terang bersinar
Asa yang mengubah merahnya darah
Merahnya torehan pengorbanan yang kian agung
Yang mengucur bercampur keringat
Dan kini meninggalkan torehan lama
Yang berujung emas yang menawan
Yang memukau setiap hati dan sanubari
Padangku. . .
Teruslah berjuang wahai Padangku
Selamatkan Ibu Pertiwi ini
Dan percayalah
Torehan darah itu
Akan berujung emas nantinya

PADANG PUN TERSENYUM

Tahukah kamu sedang apa dia?
Kenapa gerangan ia tersenyum?
Dia tersenyum karena indah
Panorama Pelabuhan Muara pada sehiliran Batang Arau yang begitu menawan
Tak ada yang tau juga
Indahnya lagu yang tercipta atasnya menentramkannya
Teluk Bayur namanya
Lagu yang mengagungkan teluk miliknya
Tersenyum pula ia karena mereka
Mereka yang bersedia singgah di tempatnya
Duduk manis di patung malin kundang
Yang menjadi cerita lama akan ia
Yang berdiri di tengah pantai
Pantai Air Manis namanya
Semanis senyumnya
Semanis tubuhnya yang berdiri kokoh di tengah bumi
Semua itu membuatnya tersenyum
Bukannya ia sombong
Tapi ia bahagia
Ternyata ia masih mempunyai banyak asa
Asa yang besar walau pernah tampak kecil
Semua itu miliknya
Pantai. . .
Resort. . .
Pelabuhan. . .
Taman. . .
Itu semua yang membuatnya tersenyum
Tersenyum bahagia
Akan kebesaran-Nya
Yang telah memberikan semua untuknya
Terutama senyuman itu
Senyuman yang bahagia
Yang penuh syukur lagi ikhlas   

Puisi Lisa Anggraeni

LISA ANGGRAENI, lahir pada tanggal 1 Juli 1994 di kota Purworejo, Jawa Tengah. Aku anak ke dua dari 3 bersaudara. Tinggal di Jl. R.A. Kartini No. 4 Rt/Rw 04/I Sukajadi. Prabumulih Timur, Sumatera Selatan. Sedang duduk di kelas XII, di SMK Negeri 1 Prabumulih, Sumatera Selatan, bidang Bisnis Manajemen jurusan Administrasi Perkantoran.

PADANG

Padang….
Terdiri dari beberapa kota
Beragam adat dan budaya
Begitu juga bahasanya

            Begitu banyak sejarah dan keistimewaannya
            Kisah tentang maling kundang
            Maupun cerita Siti Nurbaya
            Dan cita rasa masakan Padang

Walau pernah diterpa gempa
Mereka tak pernah putus asa
Berusaha untuk untuk hidup tenang
Tetap bernaung di Rumah Gadang
Padang….
Kotaku tercinta
Negeri Indonesia
Karena mu aku ada

Puisi Hendri Nova

HENDRI NOVA, wartawan Harian Umum Singgalang Padang. Sejumlah prestasi kepenulisan tingkat Provinsi dan Nasional pernah diraihnya.

PADANGKU

aku melihat parit hitam di bawah matamu itu kian dalam
di tiap dengusan nafasmu, beraroma sesak yang nan menghimpit paru
aku tahu kau masih ingin menangis, walau air mata itu telah kerontang

aku ingin mengobati lukamu nan kian membusuk
tapi kau menggeleng dan mendorongku untuk diam
kau berbisik, tanganku tak cukup untuk mengumpulkan ramuan
karena kau dihantam pilu dari delapan penjuru angin

Padangku...
kau memang tak seindah dulu
seindah keinginanku yang merantau ke pelukanmu
sayang keindahan itu terengut ketamakan mereka
mereka menodaimu tanpa malu

tanganku memang tak cukup panjang membantumu
ada tangan lain yang akan menerkamku
itulah sebabnya kau melarangku untuk mendekat
karena cintamu padaku

di lubuk hati ini
aku hanya bisa berdoa agar pemilik kuasa sebenarnya menjagamu
bangkitkan mereka yang bisa menjagamu dengan hati mulia
yang akan mengobati barit luka itu
sampai kulitmu kulihat merona seindah mentari pagi

Puisi Linda Musabbihin

LINDA MUSABBIHIN, sebenarnya memiliki nama lengkap Meilinda Rusda Musabbihin dan saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Gadis yang akrab disapa Linda ini lahir 21 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 Mei. Ia memilki ketertarikan khusus terhadap budaya Indonesia karena penulis sendiri terlahir dari keluarga “blasteran” Gresik-Padang dan sejak kecil tinggal berpindah-pindah di berbagai kota di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, ia tergabung dalam Tim Pers Mahasiswa Badan Eksekutif Lembaga Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (TPM BE-LM FTSP ITS) dan merupakan Sekretaris dari Lembaga Pers Mahasiswa Satu Kosong (LPM 1.0) ITS Surabaya.

TANGIS MEREKA, (SEHARUSNYA) TANGIS KITA JUGA

Di dalam pekatnya aliran darah
Dengan amis menyergap hidung
Puing mimpi ambruk berserak
Hingga mereka
Mengais harap di tanah basah
Bersama pilu tetesan tangis

Duka menghentak negeri dalam topengku
Ketika samar terdengar
Pecahan jerit-jerit putus asa
Dari hati mereka yang porak-poranda
Tersapu badai tak mau reda
Dan dengan memekikkan
Pekik tangis mereka
Yang mendentum dinding telinga
Bagi hati kita yang terpecah belah
Saksikan mereka meregang nyawa

Dengan bergetar mereka mengerang
Buat tangis kita makin merebak
Dalam gundah semua teriak
Kapan tangis akan berhenti?

puisi ini dipersembahkan untuk mengenang gempa Padang

RINDU

Rindu
di tengah hiruk pikuk klakson ini aku rindu
pada tiup tenang seruling bambu
iramakan lagu mendayu kesayangan ibuku

Rindu
di tengah rasa manis ini aku rindu
pada pedas asam di lidah kelu
yang buat dengan senang aku berseru

Rindu
di tengah  tiang tiang besi ini aku rindu
pada tanduk-tanduk kerbau di rumah dulu
tempatku bercanda bersenda gurau

Rindu
di tengah debu hitam ini aku rindu
pada kampong halaman yang tawarkan hijau
bersama damai yang lembut bertalu

Lagi-lagi
Rindu, sungguh aku rindu

Puisi Erwan Juhara

ERWAN JUHARA, adalah Penulis dan Pengarang; Guru SMAN 10 Bandung(dulu di SMAN 1 Maja dan SMAN 1 Sukahaji Kabupaten Majalengka; Dosen MKU Bahasa Indonesia dan MKU Sejarah Kebudayaan Indonesia di Jurusan Mandarin Akademi Bahasa Asing(ABA) Internasional Bandung; Pernah Tinggal di Padang1994-2001.  Ketua Umum Yayasan Jendela Seni Bandung, Pengurus Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI) Jabar; Ketua Umum Asasiasi Guru/ Dosen/Tenaga Kependidikan Penulis/ Pengarang (AGUPENA) Jabar. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen, puisi dll. dimuat di berbagai media massa lokal, nasional, asteng. Beberapa kali menjadi juara lomba menulis di lokal dan nasional. Kini tinggal di Jalan Sukapura 79 B Gang Anggrek RT 01 Rw 02 Kiaracondong-Bandung.

HIKAYAT MALIN KUNDANG

Berlari-lari sepanjang tepian Pantai Purus
Menuju  kedai udang goreng dan telur Penyu rebus
Di ujung Musium Adityawarman dan Taman  Budaya
Bersama gemuruh nyanyian ombak Pantai Padang
Dalam demam rindu yang hampir membunuh
Niat para pemuja cinta sejati, konon mengharu biru
Seperti  Marah Rusli mengisahkan Siti Nurbaya

Kau tetap berlari hingga Batu Malin Kundang
Memaku langkah kaki di Pantai Air Manis
Ada legenda cinta dan kesetiaan masih tergambar
Pada serpihan batu yang rapuh diterjang abrasi
Haruskah kita menjadi Malin Kundang kembali?
Meski di ujung Tabing, gapura kota kian memanggil
Dalam pemeo para Sumando dan Anak Nagari..
“Padang nan Dicinto, Padang Kota Tacinto...”

Padang, Akhir 2010

PADANG: ANTARA BENCI DAN CINTA

Memandang Padang dari Jam Gadang Bukittinggi dan Ngarai Sianok
Mengenang kisah sang Midun dalam Sengsara Membawa Nikmat
Mata hati dan pena Tulis Sutan Sati

Memandang Padang dari Padang Panjang, Negeri Serambi Mekah
Silaiang Karang menerjunkan asa sang Air terjun Lembah Anai
Khayalan sendu kaum jelata dan slum sepanjang rimbo Malibo

Memandang Padang dari negeri Kayu Tanam
Ada Randai sekarat bersama hikayat INS
Ditinggalkan Angku Syafei dan Navis

Memandang Padang dari Gonjong Matahari dan Ambacang Plaza
Ada gemuruh musik triping meruah bersama budaya hedonis
Sepanjang tepi Bundo Kanduang, Simpang Kantin, Plaza Andalas
Hingga pekak musik koplo sepanjang angkot Terminal Andalas

Memandang Padang yang berganti tubuh dan warna
Merindukan sapa ramah uda dan uni buah didik sang Imam Bonjol
Merindukan lelaki berpeci dan gadis padusi berselendang merah
Santun, sederhana, bersahaja sebagaimana kisah HAMKA yang abadi
Di Bawah Lindungan Kabah menjadi Ode masa lalu
para pejuang Minangkabau yang kian luntur
Hanya rasa sesak menimpuki dada, menusuki hati sunyi
Tapi jantung ini tetap lengket dalam degup dada Padang
Bagai daya magis negeri ibarat dan pepatah para tetuo adat
“Cinta macam apa pun, tetap lebih baik
Daripada segala macam rasa benci….!”

Padang, 2008/2009

Puisi Rifki Ferdiansyah

RIFKI FERDIANSYAH, 28 tahun yang lalu lahir di Semarang; tepatnya pada hari keempat di bulan Mei 1983. Menamatkan kuliah Sastra Inggris di Universitas Bung Hatta pada tahun 2005. Tertarik dengan dunia jurnalistik dan sempat merasakan dunia jurnlis. Namun, profesi guru bahasa Inggris di salah satu Sekolah Menengah Pertama kota Padang menjadi aktivitas sehari-harinya kini. 

TUHAN TELAH MATI

(dari sebuah lagu lama yang mendengung diingatan)

Saat melintas di simpang Tabing,
Aku lihat orang berwajah putih nyebrang
Pakaiannya serba putih terlambai tertiup angin petang
Dan sang surya pergi ke pantai barat ingin cepat pulang

Wajahnya sayu dengan senyum kuyu
Aku menyapa basa basi sambil lalu
"Apa kabar pak tua?"
Dia berhenti dan menatap padaku
Bola matanya buatku merinding; hijau

"Kabar duka" jawabnya pendek
"Apa yang terjadi? memang bapak siapa?"
"Aku adalah malaikat" ucapnya masih dengan suara serak
Aku tertawa, tertawa lepas tak peduli ada di depannya
Mungkin dia orang gila di seputaran tugu Adipuran yang tengah mabuk!

"Dari mana wahai engkau malaikat? apa kabar Tuhan hari ini?" ikut gila celotehku
"Tuhan telah mati"
"Tuhan mati? Sang Awal dan Sang Akhir telah mati?" terbahak aku
Orang mabuk dan gila sepertinya mulai jadi penghias kota tua!

"Kenapa engkau tertawa wahai anak muda? aku baru saja dari acara penguburan Tuhan!"
Aku diam, sementara gelap telah mencengkram
Angin malam mulai mendingin
Lampu-lampu kendaraan berseliweran buram
Khatib Sulaiman mulai menguning bertabur lampu jalan
"Pak tua, kau kualat. Dia adalah Tuhan. Dia bukan makhluk namun Dia adalah penguasa makhluk. Kekal adalah sifat tak terbantahkan!"

"Pak tua, kau kualat! kau benar-benar kualat! cepatlah bertobat,
dan kau bukan malaikat, kau sekadar orang gila yang mabuk berat"
Orang pucat itu menatapku erat
Mata hijaunya membesar buat kutakut
Tapi dia bercanda dengan Tuhan buat marahku larut

“Anak muda kenapa engkau tak percaya padaku?”
Suaranya pelan tetap serak
Apakah kesedihan di situ?
Bulan sabit tertutp awan di atas gonjong Padang bersama bintang-bintang perak
“Bagaimana aku bisa percaya padamu wahai malaikat penipu?”

“Aku baru saja dari pemakaman Tuhan!” kini suaranya mengeras
“Aku tak percaya, kau orang gila yang sedang mabuk!” sanggahku tegas
“Aku bukan penipu dan bukan orang gila atau mabuk. Aku malaikat!”
“Cobalah terangkan padaku wahai malaikat tua; kapan dan di mana Tuhan di makamkan? Dan bagaimana Tuhan bisa mati?” aku mengalah pada orang gila yang mabuk
(semoga aku tak ikutan gila serta mabuk pula)

Mulailah ia bercerita,
“Aku baru saja berjalan-jalan menyusuri kota,
Aku lihat orang-orang beribadah di mal-mal,
Aku lihat orang-orang rukuk di lantai dansa,
Aku lihat orang-orang sujud pada harta,
Aku lihat orang-orang menghamba pada manusia,
Aku lihat mereka telah mengganti kitab suci dengan televisi,
Aku pun mendengar mereka mengaji dengan ayat-ayat yang tak pernah aku sampaikan pada rasul yang agung 14 abad yang lalu,
Dan mereka mulai berzikir untuk mengagungkan materi,
Tuhan telah mati….. Tuhan telah mati….”

Malam semakin gelap dan angin mulai menembus jaket
Di atas trotoar Samudera,
Dua pasang muda-mudi lalu di depan kami,
Berjalan berdekapan erat seolah ingin melawan dingin

Pak tua bermata hijau itu melanjutkan ceritanya,
Suara serak kini makin mengeras,
“Mereka usung keranda yang berisi Tuhan dalam balutan kealiman saat menjalankan larangan Tuhan,
Kau tahu,
Aku mendengar sekelompok orang bicarakan BT di teras masjid usai sholat magrib!
Mereka tengah mengusung-Nya….. mereka adalah pengusung keranda itu!”
Kalimat terakhir dilafaskannya dengan lengkingan keras

“Lalu mereka mengubur Tuhan dalam diskusi yang berisi Tuhan itu ada di mana-mana!
Hingga tak ada lagi yang Esa
Engkau tahu wahai anak muda,
Dia adalah satu, tak beranak dan tidak diperanakkan,
Tak ada yang menyerupainnya!”
Aku diam seribu bahasa,
Tuhan, semoga Engkau masih hidup dalam diri rapuh ku…

September 2011, Rifki

Puisi Inung Imtihani

INUNG IMTIHANI, kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Beberapa sajaknya memenangi sayembara puisi, di antaranya yaitu juara pertama Lomba Cipta Puisi Pena Santri (Komunitas Pena Santri, 2010), juara pertama Lomba Cipta Puisi Simposium Internasional V “Dari Jakarta Hingga Jalur Gaza” (SALAM UI, 2011), dan juara ketiga Lomba Menulis Puisi untuk Cinta dan Kasih Ibu (diselenggarakan oleh Hanna Fransisca, nomine Khatulistiwa Literary Award 2010). Beberapa karyanya juga dimuat dalam antologi puisi Jalan Pulang (2010), antologi Puisi Kasih Tanah Biru Segi (2010), dan Kepingan Kehidupan (2011).

KEPADA MANDEH

di pasir ini zaman telah mencuri kaki-kaki kita. Mandeh. kau tahu
benar, menuju laut di tulang dadamu, aku kembali. pasang dan surut
bertukar sapa pada bulan yang mencatat setiap kelahiran. hingga
kapal besar ini terseret gelombang dalam matamu.

segala keterasingan akan tumbuh sebagai yang tak berkesudahan.
akan kujaga tepian laut ini seperti isi rahim yang kau sembunyikan
dari rasa dingin. malam telah habis sebagai lauk bagi sepi. satu hal
yang kukirim padamu dari atas kapal: jadikanlah aku batu agar
aku abadi bagimu.

jika kemudian orang-orang bercerita tentangku, Mandeh, tak perlu
kau katakan siapa yang dusta. aku selalu dapat menjumpaimu di kota
ini. keterpisahan dan perjumpaan akan kita simpan. seperti orang
yang setia dengan ceritanya sendiri tentang kutukan.

rahimmu tercatat pada sebuah batu. di mana aku tak pernah mati. di
mana cinta mengabadi.