Rabu, 17 Agustus 2011

Puisi Esha Tegar Putra

ESHA TEGAR PUTRA, kini masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas dan menjadi jurnalis lepas di Koran Haluan. Beberapa sajak, cerpen, serta esainya pernah dimuat di Koran Haluan, Padang Ekspres, Singgalang, Koran Kompas, Tempo, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Riau Pos, Lampung Pos, Global Medan, Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat (Bandung), Tribun Jabar, Suara Merdeka, Bali Pos, majalah Horison, dll. Tergabung dalam beberapa kumpulan sajak. Pinangan Orang Ladang (2009) merupakan kumpulan sajak tunggalnya. Diundang dalam beberapa pertemuan sastrawan, di antaranya, Temu Penyair Empat Kota (Jogja, 2008), Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2009 di Pangkal Pinang, TSI 2010 di Tanjung Pinang, serta Ubud Writers & Readers Festival di Ubud-Bali 2009. Oktober tahun ini (2011) diundang dalam Bienalle Utankayu-Salihara untuk membacakan sajaknya. 

GADIS PALINGGAM DAN SEBUAH LAGU TENTANG OMBAK PURUIH

Aku ingin musim dengan jatuhan daun ampalam muda di sepanjang jalur Kuranji, tebaran sisik ikan di tepian muara Subarang Padang, lagu gamad dan joged balanse madame membahana di losmen-losmen tua sebalik pecinan, serta pesta kembang api setelah petang bergerimis di permulaan Tahun Naga dengan lampion dan umbul-umbul merah menggantung di setiap pangkal jalan klenteng. Putar lagu itu, aku ingin dengar lagu yang itu…

Dan tentu lagu haru biru tentang kamu, duh, gadis Palinggam dengan mata sipit yang seakan menyauh setiap gerakan para penarik pukat. Lagu haru biru yang melulu membuat udara kota serasa bergaram. Ombak Puruih, di ombak Puruih… di angin yang bergetar itu aku harap getar betismu masih segesit dulu—segesit gelinjang kuda muda penarik bendi di simpang empat Pasar Raya. aku ingin benar musim seperti itu, seperti dulu, serasa gerakan jarum jam akan berputar terbalik. Aku ingin kita ke Gunung Padang di Minggu pagi, nasi berbungkus daun pisang, dan sebungkus besar Kacang Tojin.

Tapi di kota ini, hari-hari adalah kenangan yang terbenam, adalah angan yang terbuang, adalah pengaminan untuk setiap kekaburan hari depan: seperti kisah film India paling sedih yang pernah kita tonton di Bioskop Raya. Kenangan itu, lagu itu, di ombak Puruih, tahun dengan hujan lebat dan terik panas yang kita pendam dalam dada berdua. Ya, seperti sajak yang kutulis diam-diam dalam malam, ada tangis yang selalu tergadai dalam lipatan bahasanya.

Aku ingin bertemu lagi dengan musim itu, musim dengan jatuhan daun ampalam muda di sepanjang jalur Kuranji, ombak gila dengan air pasang-surut saat purnama, gaung terompet kapal gadang saat merapat di Teluk Bayur, dan tentu jagung bakar tiga seribu di sepanjang pantai Padang. bagaimana kalau kita lihat matahari terbenam di Bukit Lampu? seperti kemarin masih baru, kau dan aku di hari lalu, di tahun yang berat, di geriap kota yang terus membahasakan ingatan seolah pandangan yang terbuang: Aku ingin musim itu, hari lalu, dengan kamu yang masih itu…

PADANG KOTA TERCINTA, DI PADANG KITA BERCINTA
—teringat sajak Leon Agusta & Rusli Marzuki Saria


Sebuah malam absurd dengan sepasang gagak yang bertengger di tiang katedral setengah roboh, langit dengan gerakan awan berhemburan tertembak cahaya lampu 10.000 watt, aroma garam-pala-merica lembab terkirim dari sebuah ruangan dan tajam aroma alkohol sampai dari ruangan lain—aku berusaha menulis sajak tentang kota di bawah perlintasan jalan dengan billboard besar bertuliskan: SELAMAT DATANG.

Aku jadi ingat Leon muda yang tahunan membangun kota dari bahasa sajak, juga Rusli muda yang dengan genitnya menulis kisah Puteri Bunga Karang di antara kisah percintaan purba lainnya di sehamparan pantai Padang.

Sebuah malam yang absurd, kota yang mabuk dalam beratus lagu ombak gila, beratus sumpah pembatuan manusia, serta orang-orang yang hibuk dengan siasat bercinta. “Kota ini, cintaku, dibangun dari getaran saluang dan dendang, dari alunan rebab dan gamad, juga aroma kamu di dalam kisahnya,” aku bayangkan Leon dan Rusli muda serasa telah menghentikan ayunan ombak pada batu karang setelah membisikkan sajak pada pacarnya. “Di kota ini, cintaku, meski hujan bergerak lamban tapi dibenamkannya kita dalam bertahun cerita tentang pelayaran,” dan seperti ada yang membenam di arah samudera sana, barangkali sebentang pulau, atau kapal-kapal gadang yang terhempas di antaranya.

Tapi pada sebuah malam yang absurd, sebuah malam di mana Leon dan Rusli entah ada di mana, aku dan beberapa teman penyair lain telah membangun beberapa ruang di bagian lain kota. “Di sini, cinta seperti kematian yang berulang, bunuh diri yang berkali, atau serupa celana sobek yang kita jahit kembali,” gerutu yang serupa deru pecahan kaca toko dilempari batu, tembakan lampu 10.000. watt yang berlahan lindap, tulisan billboar serasa mengucapkan selamat jalan. Segalanya diam dalam bahasa sajak, segalanya beralih dari malam. “Padang kota tercinta, di Padang kita bercinta…” aku menulis sajak tentang kota di bawah perlintasan jalan dengan billboard besar, kisah percintaan yang hambar, dan segelas kopi dengan gula yang berulangkali ditakar.

Catatan: ‘Padang Kota Tercinta’ merupakan slogan kota Padang yang oleh pemerintahan diambil dari judul sajak Leon Agusta. Pada masa pemerintahan kini, slogan tersebut ditambahkan dengan kalimat ‘Kujaga dan Kubela.’ Sedangkan ‘Puteri Bunga Karang’ merupakan judul sajak Rusli Marzuki Saria, ia jugaseringkali menulis sajak tentang padang salah satunya tentang Hiligoo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar