Kamis, 11 Agustus 2011

Puisi Dedi Supendra

DEDI SUPENDRA, menumpang lahir di Kota Bertuah, Pekanbaru, 20 Maret 1989. Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan Univeristas Negeri Padang. Saat ini, ia sedang bergiat di Surat Kabar Kampus Ganto UNP. Beberapa karya puisinya pernah dimuat di Padang Ekspres, Haluan Minggu Sumatera Barat dan Kompas.com. Ia tinggal di Jalan Kayu Gadang, Desa Pakasai Padusunan, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman.

HIKAYAT SEORANG WANITA DI PUCUK BUKIT

: Jembatan-Makam Siti Nurbaya

Di jembatan ini, sayang,
Kita gumamkan hikayat yang berenda galau di kota pelabuhan,
Kapal-kapal meriak bersama muara yang tenang, menyimpan buram di pangkal sejarah
Rumah-rumah tua di kanan-kiri saling berpagut, seolah membisikkan beberapa larik cerita purba,
‘di sini, di tempat ini telah lahir seorang wanita’
Bisikan itu seperti nyanyian ratap yang tak berkeujungan,
Sebuah balada yang terngiang tanpa batas usia,
Merana-rana,

Dan, aksara demi aksara tembang-sendu-berbisik itu melayang-layang ke pucuk bukit,
Seperti berpotong-potong gambar yang berubah abu-abu buram,
Kau dapat melihatnya, sayang, siluet-siluet masa lalu itu tersangkut di reranting perdu yang menghijau pekat,
Beberapa burung gereja dan murai balam melompat-lompat di antara daun-daun nyiur yang melambai ke pantai,
Memanggil-memanggil,
Mereka berkicau dengan resah,
“Di sini, di lereng bukit ini, telah tidur seorang wanita’
“Ia lelap panjang dalam penantian yang tak singkat’
Jenjang-jenjang ular meliuk ke ranjangnya yang berpenjaga batu-batu raksasa,
Bila ia suatu waktu bangun, aroma angin laut langsung menyelusup ke pangkal nafasnya, sinar matahari menjadi kaca yang memantulkan raut-raut laut yang merona, ombak yang bercorak dan memutih, amboi,
Wanita itu, menanti dalam semayam surga,

Episode-demi-episode wanita itu bertumpang-tindih minta diceritakan,
Kisah mana yang lahir pertama,
Masa mana yang hendak dimula.
Seorang pendongeng bingung mulai bersuara,
“Wanita itu, lahir dari kepundan yang tenang, tapi, sayang, ia mati dalam digulung bertumpuk-tumpuk lahar panas,”

Hikayat wanita ini tersungkup di balik sebuah tempurung sejarah,
Jenguklah ia,
Ada kebenaran yang bersembunyi di pucuk bukit,

Padang, 10082011

SELAYANG KOTA PADANG

Padang  terbentang di tepi pantai,
Ada cemara dan nyiur yang melambai,
Pasir-pasir yang manis di pesisir landai
Ada pulau pisang dan ambai-ambai
Angin laut mendesir-gemulai,
Ombak berjulai-julai,
Ahai,
Padang, kota tepi pantai;

Kota Bengkuang penuh rona sejarah
Hikayat-legenda tumpah ruah,
Siti Nurbaya-Malin Kundang tokoh bertuah
Elok dijadikan cermin bertingkah

Amboi,
Bila hendak ke kota kami,
Air Manis siap menanti,
Pasir putih bak permadani,

Amboi,
Ke Kota Padang tak usah ragu,
Engkau disambut di simpang tugu,
Seperti muda-mudi tegak di pintu,
Hasrat menyambut si Tuan tamu,

Kota Padang,
Membuat mata nyalang,
Hati senang bukan kepalang,
Rumah makan berjejer panjang,
Gulai tunjang dan sambal rendang
Kalau pulang tak mungkin melenggang,
Buah tangan, hai si Bengkuang,

Kawan,
Selamat datang di Kota Padang,
Kota Tercinta,
Ku jaga dan Ku bela

Padang, 10082011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar