Sabtu, 20 Agustus 2011

Puisi Akhyar Fuadi

AKHYAR FUADI, lahir dan dibesarkan di Nagari Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, 18 April 1984. Pernah gelandangan di Padang selama satu tahun dan mulai belajar menyukai puisi sejak saat itu. Sering bertandang ke pasar Gauang sewaktu masih di Padang hanya sekedar untuk melihat-lihat ikan. Beberapa karyanya pernah singgah sesekali ke meja redaksi Padang Ekspres, dan Singgalang. Puisi-puisinya pernah dimuat dalam antologi Sebilah Sayap Bidadari: Memeorabilia 7,9 SR (Pustaka Fahima, 2010). Satu puisinya terpilih pada Seratus Puisi Ibu Indonesia yang rencananya akan diterbitkan oleh Sastra Welang Publisher, Bali, di tahun 2011 ini. Saat ini tercatat sebagai staf pengajar di Pondok Pesantren Ashhabul Yamin, Lasi.

SEPANJANG PADANG, SEPANJANG KENANG

Padang,
aku mengilhamimu seperti pasang surut ombak dan sepi
lumut yang menjalar di tiap retakan pada tembok di daerah Pondok
juga kapal-kapal yang datang dan pergi menggusur musim di Teluk Bayur
juga dermaga pasar Gaung yang bacin. Adakah kau menanti kabar lain
dari rahim samudera yang asin? Semisal lapak-lapak yang terus bertahan dari angin
di Taplau yang risau: menunggu senja tenggelam, sementara matahari semakin jauh
berlayar ke balik gunung Padang

Lalu lagu lama tentang kota lama, kota cinta yang tak lagi dicinta, menyayupi ingatan malam
yang diusir lampu-lampu merkuri sepanjang Sudirman. Adakah pengadu nasib melelehkan
mata mengairi Jantungmu yang ngilu sehabis gempa, sehabis petaka? “badaikan nasib kami
bersama kios-kios darurat yang tumpah sesak menganak-sungaikan peluh dan bermacam
dagangan yang lusuh”, entah siapa berkata

Di Gunuang Panggilun yang tertidur anggun, kami pernah mengusir takut pada laut:
ibu dari segala denyut hidup dan panorama kota tuamu, di saat hari-hari mengisar
ciut, orang-orang berlarian gamang, juga trauma atas memorabilia yang ditorehkan
mengoyak dada kerontangmu dan menanam beribu pohon ngilu

Adakah Tuhan dan hari-hari baik masih setia bercokol di sudut-sudut
rumah sakit, mesjid, gerbong kereta api  Simpang Aru dan bus-bus yang berangkat senja
mengantar cerita, juga luka-lukamu entah ke mana?
Lalu, masihkah legenda si Malin Kundang menjaga batu demi batu yang terus
membangun peradaban demi peradaban? atau jembatan Siti Nurbaya yang kian menua
bersama zaman dengan segenap kisah-kisah sedih percintaan?

Padang,
di penghujung Agustus sewindu silam kuteguk hari-hari
terakhir bersamamu di Pasa Baru, juga segala kelu yang menggertakku pergi
Saat ini kudatang lagi menziarahimu dalam sajakku, masihkah getar itu memercikkan
haru dan rindu, sebagai kawan lama yang bertahun tak jumpa? Masihkah geliatmu
seramah dulu, seharap ibu menunggu Malin yang telah lama membatu...?

Lasi, Agustus 2011

DI SEBUAH DERMAGA: PADA SUATU SENJA

Di setiap kelokan dan dengus nafas ini kota
udara merenda mimpi kanak-kanak yang tak segera beranjak
menghitung denyut jantung dan detik berjelaga
menjadi kecemasan usang dibawa kepak unggas menuju pucuk senja

di Teluk Bayur, bertautan kapal-kapal dan dermaga
berseling hawa asin dibawa kelasi-kelasi dari pulau yang jauh
dan tak kutangkap apa-apa lewat mata
selain hanya kekosongan dan keasingan menyerbu kepala
Lalu mimpi dan dongengan-dongengan di hijau usia:
Tentang Nuh, tentang nakhoda yang melayari dunia yang tenggelam,
bergeming disinari lampu-lampu mercusuar dan lembayung senja

semua menawarkan keburaman yang terjalin
dalam rahasia

di sini, di dermaga ini, aku sebentar-sebentar tiada

Teluk Bayur, April 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar