SUHARIYADI, lahir di Tuban, 4 Januari 1963. Sebagai seorang pendidik bahasa dan sastra, dia kerap menulis dan berkecimpung di dunia sastra dan teater di tanah kelahirannya itu. Beberapa puisi, beberapa cerpen, beberapa artikel dan esei kebudayaan, beberapa naskah drama, pernah ia tulis. Beberapa tulisannya pernah dimuat di koran, jurnal, dan majalah. Tak sedikit pula yang cuma ngendon di blognya. Beberapa kali menjadi juri dan pengamat lomba sastra. Beberapa kali juga menjadi sutradara pertunjukan teater. Beberapa kali sekedar membantu-bantu sebagai crew artistik pertunjukan teater teman-teman sedaerahnya. Tak kerap, kadang-kadang diminta menjadi nara sumber dialog sastra dan teater. Di samping menulis karena kesukaan, dia juga sebagai penulis tetap di majalah lokal Tuban, Akbar. Bukunya yang telah diterbitkan adalah, Sekitar Masalah Bahasa dan Sastra (2007), Puisipuisi (2007), Handout Kuliah Dramaturgi (2009), Menulis Kreatif (2011), Kumpulan Esai Sastra dan Budaya (2011), Penelitian Sastra, Sketsa Teori dan Aplikasi (2011), Antologi Cerpen, Kotaku Perempuan (sedang proses penerbitan di penerbit Putra Perdhana, Solo), Antologi Cerpen Anomali (2011), Kumpulan Artikel Sastra, dan beberapa buku hasil penelitiannya, di antaranya dibiayai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi. Saat ini sedang menyelesaikan novel sejarahnya berjudul Ranggalawe.
KUSEBUT NAMAMU KARENA MAMAKMU
Malin, kusebut namamu tiga kali saat jam Gadhang mengejarku hingga ke belantara malam. Di sana Siti Nurbaya melempar senyum dengan garis kerut menjumlahkan detak jarum jam itu bersama cerita lama. Kau pun begitu renta. Tapi ingatan ini tak mungkin lagi kubendung seperti tarian kuncup daun rempah menghampar menghijau dalam hempasan angin bukit barisan. Tak mungkin aku lupakan itu.
Kusebut namamu karena mamakmu.
Sabdanya saat melepasmu merantau telah menjadi butiran Kristal dalam peluhku:
”Anakku, mengapa bumi ini bulat? Karena dengan bulat itulah kita bisa berputar agar kita bisa merasakan ketika di atas dan merasakan ketika di bawah, karena agar kita tak menyombongkan diri, agar kita tetap sabar dan menerima, tak ada yang kekal di bumi ini, semuanya pasti berputar, semua pasti berubah, hanya orang-orang yang tidak melupakan bulatnya bumi inilah yang bisa menangkap isyarat-isyaratnya.”
“Anakku, mengapa kita mesti mandi jika akhirnya akan kotor kembali? Karena dalam setiap tindakan kita tak mampu memisahkan mana yang jelek dan mana yang baik, karena keduanya batasnya tipis sekali, hingga kedua kaki kita berpijak berseberangan di antara keduanya. Setiap kita bersihkan, sebelah kaki kita akan berseberangan satu sama lain. Hanya orang-orang yang mampu menangkap garis batas itulah yang mampu memilih jalan yang pasti.”
Tak mungkin aku lupakan itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar