Jumat, 30 September 2011

Puisi Suhariyadi

SUHARIYADI,  lahir  di  Tuban,  4  Januari  1963.  Sebagai  seorang pendidik bahasa dan sastra, dia  kerap menulis dan berkecimpung di  dunia  sastra  dan  teater  di  tanah  kelahirannya  itu. Beberapa puisi,  beberapa  cerpen, beberapa  artikel  dan  esei  kebudayaan, beberapa  naskah  drama, pernah  ia  tulis.  Beberapa  tulisannya pernah  dimuat  di  koran,  jurnal,  dan  majalah.  Tak  sedikit  pula  yang  cuma ngendon di blognya. Beberapa kali menjadi juri dan pengamat lomba sastra. Beberapa  kali  juga  menjadi  sutradara  pertunjukan  teater. Beberapa  kali sekedar  membantu-bantu sebagai crew artistik  pertunjukan  teater  teman-teman sedaerahnya. Tak kerap, kadang-kadang diminta menjadi nara sumber dialog  sastra  dan  teater.  Di samping  menulis  karena  kesukaan, dia juga sebagai  penulis  tetap  di majalah  lokal  Tuban, Akbar.  Bukunya  yang  telah diterbitkan adalah,  Sekitar  Masalah  Bahasa  dan  Sastra (2007), Puisipuisi (2007),  Handout Kuliah  Dramaturgi   (2009), Menulis Kreatif (2011), Kumpulan Esai Sastra dan Budaya (2011), Penelitian Sastra, Sketsa Teori dan Aplikasi (2011), Antologi Cerpen, Kotaku Perempuan (sedang proses penerbitan di penerbit Putra Perdhana, Solo), Antologi Cerpen Anomali (2011), Kumpulan Artikel Sastra, dan  beberapa  buku  hasil  penelitiannya, di antaranya  dibiayai  oleh  Direktorat  Pendidikan  Tinggi.  Saat  ini  sedang menyelesaikan novel  sejarahnya berjudul Ranggalawe.

KUSEBUT NAMAMU KARENA MAMAKMU

Malin, kusebut namamu tiga kali saat jam Gadhang mengejarku hingga ke belantara malam. Di sana Siti Nurbaya melempar senyum dengan garis kerut menjumlahkan detak jarum jam itu bersama cerita lama. Kau pun begitu renta. Tapi ingatan ini tak mungkin lagi kubendung seperti tarian kuncup daun rempah menghampar menghijau dalam hempasan angin bukit barisan. Tak mungkin aku lupakan itu.

Kusebut namamu karena mamakmu.
Sabdanya saat melepasmu merantau telah menjadi butiran Kristal dalam peluhku:

”Anakku, mengapa bumi ini bulat? Karena dengan bulat itulah kita bisa berputar agar kita bisa merasakan ketika di atas dan merasakan ketika di bawah, karena agar kita tak menyombongkan diri, agar kita tetap sabar dan menerima, tak ada yang kekal di bumi ini, semuanya pasti berputar, semua pasti berubah, hanya orang-orang yang tidak melupakan bulatnya bumi inilah yang bisa menangkap isyarat-isyaratnya.”

“Anakku, mengapa kita mesti mandi jika akhirnya akan kotor kembali? Karena dalam setiap tindakan kita tak mampu memisahkan mana yang jelek dan mana yang baik, karena keduanya batasnya tipis sekali, hingga kedua kaki kita berpijak berseberangan di antara keduanya. Setiap kita bersihkan, sebelah kaki kita akan berseberangan satu sama lain. Hanya orang-orang yang mampu menangkap garis batas itulah yang mampu memilih jalan yang pasti.”


Tak mungkin aku lupakan itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar