Kamis, 29 September 2011

Puisi Istiana Shalihati

ISTIANA SHALIHATI, kelahiran Jakarta 12 Maret 1990. Menetap sementara di Solo (di Perum Nilasari, Gonilan Kartasura, Sukoharjo) dari asalnya Ciledug, Tangerang. Bergiat di Pengajian Jumat Petang, Komunitas Tanda Tanya dan redaksi majalah Papirus, Solo. Beberapa puisinya terhimpun dalam Antologi Puisi Bersama Pendhapa 10 (Taman Budaya Jawa Tengah, 2010), Menguntum (2011) dan beberapa media cetak lokal Solo. Menjadi finalis PEKSIMINAS 2010 di Pontianak mewakili Provinsi Jawa Tengah bersama sepuluh finalis lainnya dalam sayembara penulisan puisi. Saat ini aktif sebagai mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

KAPAS PADA MUARA

dari kerajaan Paraguyung kemudian berpamitan padaku. Salam! Aceh memberi cengkeh pada ve o ce. lalu kau mendirikan sel-sel dari bata merah untuk meranggah cengkeh dan setaman.
teluk bayur dan muara berdiam meliuk di lingkar pinggang Jacob Pits kemudian Le Même. Payau adalah kekalapan mereka.
Tirani kelahiran terang! Tirani kelahiran dari Paraguyung dan Aceh, lalu ve o ce.
Kamu lembut, pada sapaan bukit-bukitnya. Kertas-kertas lama bermuara, laik aroma padi terjuntai berat merunduk. Kertas lama dengan kapas lama, yang membatas gelombang pacu angin barat. Gelombang pacu angin anyir. Gelombang pacu angin Marah Rusli untuk Siti Nurbaya.
Sejumput darimu berkenang dan memaki tenggorokku untuk bersilang dengan nyiur, bersilang dengan darat dan laut. Ah, Padang masih terlalu terang untukku melepas kacamata hitam dan memaniskan payaumu, lembut.

2011

BERJIBAKU GUNCANG

yang kumaksud itu! selembar katamu untukku bersua diri terguncang. 1833, kertas lama dari James du Puy. Muaraku hilang! muaraku jadi jurang yang menyelinapkan lapisan-lapisan penyanggahmu. Berdirimu. Kokohmu
kali dua, dan lalu kamu berjibaku guncang. Muara tidak hilang! muara tidak jadi jurang! Tapi, tubuhku melengkung, menjadi rumbai nista. Kita pada diri, berkalimat tertuang dalam punggung, bersayap dan memunculkan keinginan seperti anak elang mencari cacing. Sendiri, berdiri!
“Kita kuat seperti dulu kamu membangun sel-sel bata merah ditepianku, ketika tanganku berkacak pinggang.”
“Aku lirih, sekarang jam berapa? Atau waktu telah hancur bersamaan kertas-kertas yang membusuk pada guncangan?”
lalu guncang, untuk kertas baru.

2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar