Jumat, 30 September 2011

Puisi Iqbal H. Saputra

IQBAL H. SAPUTRA, adalah nama pena dari Iqbal Saputra. Lahir di Belitung, 08 November 1989. Gelar Sarjana 1 diselesaikan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Bergeliat di teater JAB, UAD. Menjadi ketua Teater Kamboja, IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitong) cabang Yogyakarta. Karya yang pernah di pentaskan adalah, menjadi Sutradara di Taman Budaya Yogyakarta, dengan naskah, “Awan Biru Di Negri Pelangi” pada tanggal 12 Mei 2009. Menjadi Sutradara di dua kota di Belitung, tanggal 26 dan 29 September 2009, dengan naskah yang ditulis sendiri, “Yuk Kite Balik ke Belitong”, Naskah “Betet King-kong” dalam Festival Seni SMA se-Yogyakarta.  Naskah Nyanyian Setan (nya) dipentaskan oleh Afrizal “Jrangkong”. Pernah aktif di komunitas Gress (Gerakan Reformasi Sastra) Yogyakarta yang sekarang berevolusi menjadi Gress Publishing dan komunitas Busi (Budidaya Puisi Indonesia) UAD. Pernah menjabat menjadi ketua bidang seni budaya Belitong di Yogyakarta 2008 – 2010. Karyanya (Puisi) tersebar di media massa umum dan kampus (Merapi, Kreskit), majalah (Poci Pait, Mayara), dan antologi bersama, diantaranya dalam antologi “Puisi Menolak Lupa: lomba cipta puisi religi 2009 yang diadakan STAIN Purwokerto”, “Antologi Syair Angin: Puisi Lima Sahabat, Palembang, Madura, Yogyakarta, Madiun, dan Belitung”, Antologi Sajak Rindu bagi Rasul: Prasasti 100 + 46 Jam Pagelaran Sastra Matahari Menembus Kalbu”, Puisi Sahabat: Luqman Sastra”, “Wajah Teater JAB”, “Taman Mimpi Nawawarsa”, “Kepingan Kehidupan”, dan lain-lain.

CATATAN KERINDUAN

I

Masih adakah waktu sisa buat kau jua aku bersua di dermaga Emmahaven*, Sayang?
Dermaga yang membikin kerinduan terasa pedang.
Entah berapa jauh jarak kau aku. Almanak menumpuk di gudang belakang rumah. Dan kita tetap tak sempat sua.
Rindu benar aku padamu.
Terlebih dengan kebiasaan yang sering kita lakukan dulu.
Kau mengingatnya?
Saban malam kau aku bersenandung. Ku hembuskan nafasku di sepanjang lorong saluang.
Jemariku menari-nari. Sedang kau, berdendang tak henti-henti.
Bersandinglah saluangku dengan syair senandung Ratok Sianok-mu.
            Oi mak Jang. Amboi ma inang.
                        Saluangku menggiring laju dendangmu.
Di beranda rantau, rinduku serupa tanduk kerbau.
                        Alam takambang jadikan guru, menggiring langkah lajuku.

            II

Masih kau ingat saat sebermula kejauhan ini?
Saat laut menjinjing kapalku. Kau aku saling lambai. Air mata membakar muka.
Sungguh, Sayang, lambaian tanganmulah penyebab runtuhnya gunung-gunung dalam dada.
Usah bertanya seberapa besar guncangannya. Kau mungkin merasakan getaran yang menggetar kota rendangmu dua ribu sembilan lalu?
Namun saat itu getaran dalam jiwaku, Sayang, percayalah, lebih dari apa yang kau kira.

“Perihal air mata yang membakar, setelah itu aku tak tahu, entah buyuang mana yang memadamkannya dari pipimu.”
III

Entah berapa purnama yang datang dalam pengasingan ini, Sayang.
Malam silih ganti. Datang dan pergi.
Membikin wajah keriput, rambut memutih.
Tapi tidak ada yang berubah dalam ingatan.
Percayalah.
Tidak ada alasan yang dapat memaksaku menghapus segala tentangmu.
Sungguh tersimpan rapi dalam hati.
Yakinlah, Sayang.
Di beranda rantau ini
Ku rawat rinduku padamu serupa aku merawat rinduku pada ibu.

            IV

Lailllah haillallah . . .
Tak terasa kata telah membangun nostalgia.
Segelas teh taluaku tinggal setengah.
Malam pun semakin binal menjilati raga.
            Tapi bayanganmu, Sayang, lagi-lagi ingatan tentangnmu, tak sanggup aku mengelabuinya.
            Asap rokokku menjelma wajahmu.
O, Gusti, setengah mati aku dibuatnya.

            V

Jam menunjuk tiga
Sunyi mencipta aroma.
Ya, aroma pandan samping rumah membikinku terngiang akan aroma tubuhmu, membikin   rinduku menggebu-gebu.

VI

Duh, Gusti
Rokokku mulai terasa panas.
Teh taluaku tinggal terasa ampas.
Dari jauh ku dengar surau-surau bingar menyeru.
Namun hatiku, Gusti, tetap sunyi. Sunyi. Sungguh sunyi.

Entah di mana batas perjalanan ini?
PadaMu, aku mengadu.

            VII

Sampai jua aku di gigir subuh.
Embun perlahan merangkak di muka. Terasa di leher, menjalar ke tubuh, seluruh tubuhku.
Teh talua, tak bersisa. Rokok tinggal bungkusnya.

O, Gusti
Sungguh, jarak terasa pedang, rinduku seluas pandang. Sepadang kampung halaman.

            VIII

Ku kemas diri.
Nuju padasan sumur tua belakang rumah.
Berjumpalah aku dengan aroma lumpur dekat pandan,
Aromanya, Sayang, serupa lumpur bakau sepanjang tapi lauik** saat merantau dulu.
Ku hidupkan mesin pompa,
suaranya, Sayang, serupa dengung kapal yang membikin kau jua aku melambai.
Ku basuhlah diri,
            rasanya, Sayang, serupa air mata perpisahan yang membakar muka.
Ku kuncilah kamar,
            suasananya, Sayang, serupa di tengah samudra.
Ku gelar sajadah,
            imajinasiku, Sayang, serupa bentangan laut yang menjinjing kapalku.
Ku matikan lampu, memulai pelayaranku,
            percayalah, Sayang, sepanjang takbir dan dzikirku, wajahmu berenang-renang dalam tangisku.
            Masih sama seperti malam-malam kemarin, air mataku repak tersebab mengingat tentangmu.

Jogja – Lawang Abang
September, 2011

Nb:
* Emmahaven : Nama pelabuhan Teluk Bayur di zaman Belanda (Pelabuhan  Emma), merujuk ke Ratu Emma.
** Tapi lauik    : Tepi laut (dialek Padang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar