Jumat, 30 September 2011

Puisi Asril Koto

ASRIL KOTO, lahir di Padang tahun 1962, bekerja sebagai jurnalis. Buku puisi yang telah terbit Sedekah Air Mata (2008). Kini ia tinggal di Padang.

BAYANGAN SEPTEMBER

padang, rabu, 30 september 2009
di suatu petang
langit September bergetar menguncang dada
tiba-tiba jadi awan
mengkhafani jasad-jasad beku

malang datang
tanpa diundang
kenangan yang tak dapat kubayangan
wajah kota seketika mati
kita berlari membawa cemas
sambil membayangkan darah yang mengalir dari tubuh
entah tercecer dimana

kuasaNya
ku tak kuasa
membaca kata luka
melihat diri sendiri
dan
melihat  sisa tangis emak
masih lembab di mukenah
petang itu
cucunya tidur pulas selamanya di ayunan kain

dua tahun kemudian
rumah tempat kami melepas penat
belum berpintu
bayangan itu belum juga pergi
kami hanya menonton tentangga sebelah
mendandani rumah yang roboh
kami orang-orang lugu
kali ini
segerombolan kami datang menagih janji
di pintu gerbang
kami melihat
jam  dinding di leher menaramu mati
kami tak tahu lagi dengan hari dan waktu

bayangan September itu
tak pernah pergi di mataku dunia
bayangan cucu tidur selamanya
bayangan rumah tanpa pintu
meski padang
kini di kenal di mana-mana
juga jadi ziarah para pelancong
dalam puisi ini.

PADANG

45 tahun lalu
padang kutinggalkan
kutinggalkan seulas senyum dan kubawa bayangan lapangan imam bonjol
tempat kanak-kanakku bermain menghabisi petang
lalu kutanggalkan sandal
arungi lautan timur

di timur kubaca wajah suku-suku
kadang tersenyum
kadang melamun
kadang garang
ketika musim riuh
orang-orang membawa jasad ke rumah duka
darah di kepala mengalir sebelum sampai ke rumah sakit
isak tangis berkumandang
ulah selisih kata

kotamu rupanya
tak seperti kotaku di padang
kanak-kanakku  dulu sungguh lucu
berkelakar dan saling tampar menampar
kami tak pernah membawa pulang tangis
atau setetes air mata
jelang pulang
kami selalu berpisah di simpang enam
aku menuju kampung jawa
ahmad sebentar lagi sampai di kampung keling
aseng  melangkah lurus ke kampung cina
nanda melenggang kaki ke kampung nias
kami berbeda suku, lahir dan tinggal di padang
dan tak pernah berselisih kata
atau membawa jasad  ke rumah duka
tak seperti di timur itu

akhirnya
aku pulang ke padang
aseng sudah punya menantu dari kampung jawa
sebentar lagi putra nanda meminang putri kampung cina
putri ahmad dan putriku sudah bertunangan  dengan putra melayu
di tengah kota
kami ingin menambah ranji turunan
seperti anak jenjang empat puluh
biar berkembang

di padang
tetangga kami hidup saling tolong menolong
sejuk, aman dan damai
jauh dari selisih kata
selamanya
tak seperti di timur itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar