Jumat, 30 September 2011

Puisi Pringadi Abdi Surya

PRINGADI ABDI SURYA, dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Takdir mempertemukannya dengan seorang perempuan dari Talang Babungo, Sumatera Barat pada 1 Juli lalu. Sekarang berdomisili di Sumbawa Besar. Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan 2009 ini diundang pula pada TSI di Tarnate Oktober mendatang. Buku kumpulan cerpennya Dongeng Afrizal (Kayla, 2011).

DI DANAU KEMBAR

dari satu rahim ibu, takdir
mencemburu. lahir kanak-kanak
di batu danau; sepasang
lebah berebut ratu. sebandung
unggas bertingkah camar
didengungkan kabar dari
kekasih:
siapa yang lebih tabah
dibanding cemara, menjulang
angkuh—tak akan berselingkuh?
aku tak bakal merebut hati, tidak
hendak mencebur diri demi
mengukur dalam mata Kau itu
diam-diam kuredam pilu
kupendam rindu, tersebu
dadaku karenamu. di haud
itu, pandangan tertutup kabut
dingin semalam meremukkan
tulang, mengerutkan selimut
yang tak muat bagi badan
dan pikiran;
Kau adalah anggrek bulan
tak diminta tumbuh di pekarangan
—siapa yang lebih pantas
untuk memetikmu, selain aku
yang jauh datang melintas
tujuh etape, berbekal sepeda
usang, kukayuh, berpeluh,
dan tak kunjung mengeluh?
dari satu rahim ibu, takdir
adalah titik-titik air yang runtuh
air mata seseorang yang tak
dikenal menangisi kekasihnya
yang pergi merantau, menitipkan
lapau pada ujung kemarau itu.

(2011)

TALANG BABUNGO

: sabriani suci zasneda

aku akan kembali ke
bukit tengkorak. jarak
selentur bambu, sedekat
belikat. insektisida yang
disemprotkan ke detil lahan
tak mematikan kupu-kupu—
ia ulat, bersembunyi
di liat liang. tahun depan
jadi kepompong.
bila musim lalu, kurasai
markisa yang matang di
pohonnya, bau rumput
yang mekar di sepanjang
alahan panjang, aku kini
ingin memetik segala
di tubuhmu, mengemasinya
juga luka yang diam-diam
berbekas, belum tuntas
jurang pasti bukan pemisah,
anak nelayan yang masih
bermain di danau mencari
berpotong riak sebagai
mahar. kuletakkan mereka
di dulang esok
malam sebagai tanda
janji seiya. itulah talang,
nagari elok nan babungo;
kau kata aku telah sampai
di masai rambutmu yang kini
tertinggal seperti gigi yang
tanggal. tapi baru kita mulai
kapal yang berlabuh mengangkat
sauh, mengembang layar, memugar
lunglai angin—dibekukan dingin.

(2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar