Jumat, 30 September 2011

Puisi Melisa Asripal

MELISA ASRIPAL, lahir pada tanggal 27 November 1990. Seorang mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Andalas. Bergerak dalam komunitas KAKI LIMA (Kajian Kritis Limau Manih) bagian Divisi Seni Budaya.

KEPADA YANG TERKASIH, PADANG

Diperemajaan hari ini, sepertiga dari yang tersisa sebelum yang lainnya datang, hujan tak lagi mendayu.Seperti tadi,temponya sedikit sedih, bersamaan dengan iringan saluang

Sudah cukuplah bicara tentang aku. Sore ini kita hembus-hembuskan udara yang bersih di pinggiran Batu Busuak. Mengalir entah darimana, tapi ikhlas betul ia menjadi milik kita. Dimana lagi memangnya pelarian selain meminggirkan kemunafikkan? Diam-diam kucuri pandang dalam kau kekasih, langit yang sama seperti tempat lain yang pernah kujajaki.

Mesra betul mereka bercumbu, saling susul menyusul disela bebatuan. Air yang mengalir itu. Ah, tiba-tiba kau pasti ingat akan banjir yang sering datang di musim hujan begini, disekitaran Lapai sering juga. Dulu, kala aku kecil lagi, belum ada gigiku tanggal barang sebuah, dua insan penuh cinta sering mencampurkanku dengan lantunan ombak merdu,dibibir Pantai Air Manis. Pernah sekali aku ditelan, tapi dimuntahkan lagi. Layaknya seluruh banjir itu menyerah di laut, sepertiku juga.

Bukannya aku terpilih disini menghamba, tapi kehidupan bukan barang yang bisa kau potong-potong untuk dipilah dan nikmati bersamaku. Ingat betul aku,frühling di penghujung September tahun itu, 2009, dan aku sedang tidak bersamamu. Begitu nikmat dingin yang memangkuku, hingga terlena-lena. Ah dikecupnya aku begitu ngeri. Terlebih ketika kutahu kekasihku digoncang segoncang-goncangnya. Aku lihat dengan tangis, rata dengan tanah sudah.

Aku lebih remuk dari apa yang dunia pernah sangka. Segala yang terkasih, disana, menjurang ke dalam. Pada apa sumpah serapah harus kulontarkan dan lagi luka menyibak begitu dalam? Lagi nyeri, bekas luka masih mengguruiku.

Angin sedikit menamparkan penghujatan padaku, tak apalah kekasih, ia cemburu padamu.Seputih bingkuang yang kusantap kemarin warna hatinya.

Kini sedikit bernoda saja kau kekasihku, di penghujung sakralnya bulan Ramadhan, bukan hendak kusebutkan seorang ibu, dua orang ibu, tiga orang ibu. Tapi hanya pemikiran gilaku yang berandai, mereka salah satu ibu dari perut-perut lapar yang menanti di rumah, aku mungkin? Kudengar, kau jadi selebritis, kekasih.

Ahai! Kuteringat Pasar Pagi menggairahkan hari ini. Segala ada. Dan hilang sekejap diantara tangan-tangan ibu muda.Gadis manis masih tertompang kantuk, dan aku tak peduli mereka sipit atau sawo matang. Tetap cantik, begitu katamu kekasih. Disini berputarlah uang-uang manis yang merawatmu berkala.Semanis wangi cengkeh yang dulu merajaimu. Kita terbuai disana.

Senja mulai datang, biar kuraba sedikit pada sejarah.Ketika Marah Roesli membangunkanmu sedikit dalam tulisan,aku mendatangi suatu tempat favoritku disini, kekasih. Dilajur tubuhmu nan anggun. Disini, di dekat sebuah bukit, aku duduk bersama angin dalam sapaan Jembatan Siti Nurbaya.

Selamat datang, Ranah Minang mencintaimu. Tapi cukuplah kita masih bicara tentang aku.Kau kekasih, terimakasih masih saja setia.

PADANG, 30 SEPTEMBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar