Jumat, 30 September 2011

Puisi Silfia Hanani

SILFIA HANANI, adalah peminat dan menyukai puisi. Beberapa puisi yang diciptakan dibukukan dalam antologi, seperti Suara-Suara Hawa, Gempa Padang, Meditasi Dato Kemala, Sebilah sayap Bidadari, Suara Nurani dan Kalbu. Pernah mendapat penghargaan pencipta puisi terbaik e-sastra, Malaysia.

KOTA PADANG DALAM CATATANKU

Aku masih ingat, layar kaca itu bercerita tentang bercak-becak darah di tanggal 30 September yang menempel di setiap penggal hulu hatimu kota ku. Betapa rebahnya,  menara setiap sudut mu dan ditangisi  oleh air mata yang datang seperti ombak yang beriak di lautmu. Waktu itu, aku hanya mengirim sepenggal doa.

“Tuhan yang maha mulia
kota ini sudah tua
mohon Engkau mudakan
seperti anak dara dipinang kekasihnya”

Kini aku menyeka air mata, menyisir pasar raya menuju masjid taqwa. Di bawah menara Tuhan, aku menemukan sajadah-sajadah ramai oleh kening musafir, karena di sudut Imam Bonjol ada Baliho yang meracik kata merayu hati, menghadap selalu ke manusia.  Aku tertegun dihembusan gemulai angin, sambil menafsir  kerasnya dentuman musik bis kota.
Sedikit lagi, mata hari tenggelam. Angin laut semakin sahdu, ombak berdebur berirama menjulur di bibir pantai:

Oh, laut Padang
sampan-sampan kecil
Pulang berlayar menyonsong senja
Mengantar bekal untuk esok pagi
Ke  pasar raya

Akhirnya matahari menutup diri, malam datang mengganti siang. Lampu-lampu kota jatuh di aspal. Azan maghrib, menawan disetiap menara Tuhan. Aku hendak kemana? Tanyaku pada diri! Aku lihat ranting-ranting cemara laut, sudah enggan untuk menyapa, burung-burung telah lelap ke sarang diusir malam. Pondok masih begitu anggun aku lihat. Jagung bakar, begitu lembut di gigit, selembut temaram lampu-lampu di jembatan Siti Nurbaya. Di balik temaram yang lembut ini, aku lihat Gunung Padang masih saja setia menjagamu Padang. Aku ingat pelabuhan niaga Teluk Bayur, apa kabarmu kini! Indahmu tentu masih seperti dulu, seperti anak perawan.  Ingin sekali bergalut ombak di Pantaimu, kemudian mendaki ke sebelahnya menemui batu Malin Kundang. Di ayunan jembatan yang semakin malam ini, aku menambatkan sepenggal mantra:

Wahai penguasa yang bijak
Jangan remuk redamkan ini negeri
Izinkan aku pamit  ke Sudirman, jalan yang tak bisa aku lupakan dengan sejuta kenangan, masih seperti dulu ternyata dirimu, mengenang mu seperti mengenang rumah gadang dengan gonjongnya, seperti jalan teduh dengan Abdul Muisnya. Apa kabar jalan Tan Malaka? Sudah lama aku tak berlari di tubuhmu mengejar bis kota ke Jati agar cepat sampai di rumah ilmu, univeritas Andalas itu. Akhirnya untukmu, aku berkhabar dan bergurindam Padang!

Elek-elok menjaga diri
Peliharalah budi
marwahmu akan abadi

Keningku berkenyut, ketika sampai di Air Tawar. Aku miris! Hanya aku mengulum kesal sambil bercakak dengan diri sendiri.

Aku ingin melihat jalan raya rapi
Biskota, berbudi
Pejalan kaki terlindungi
Tak rela Padangku direnggut kebahagiannya
Oleh macet yang tak terkendali

Aku simpan, catatanmu yang ini, karena aku merasa mencintaimu Padang. Mana kelak, aku hidup seribu tahun lagi, berjumpa dengan wajahmu yang rapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar