Kamis, 29 September 2011

Puisi Hafi Zha

HAFI ZHA, nama pena dari Hafijah. Lahir di Negara (Kalsel) 13 Desember 1985. Pada tahun 2007 cerpennya yang berjudul Di Ambang Pintu Dua Dunia berhasil meraih juara harapan 1 sayembara menulis cerpen yang diadakan oleh Majalah Ummi. Esai-esai sastranya banyak termuat di Majalah Sabili. Cerpennya dimuat di Annida dan CSR (Majalah Kampus). Alumni jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang ini sempat mengajar Bahasa Indonesia di Bimbel Maestero selain membesarkan kedua anaknya, Tebing dan Rayya. Bukunya yang telah terbit, Noval ingin Jadi Batman (MBM 2010), bukunya yang akan segera terbit, Rahasia Rumah Kepompong (Balai Pustaka) dan Misteri Vila di Atas Bukit (Balai Pustaka).

DONGENG UNTUK ANAKKU

Anakku, pada tiaptiap bulan yang dilalui
Kurangkai manikmanik dari air mata ibu
Entah berapa juta manik yang ibu teteskan dari telaga matanya
Menahan nyanyian pilu di perutnya
Yang tak kunjung dijamah sebutir nasi
Yang tibatiba saja naik membumbung setinggi langit

Ibu hibur hati anakanaknya yang duduk mengelilingi tungku
Merebus batu di bawah atap langit semesta
Bertabur bintang kerlapkerlip,
Saat anak lelakinya yang corengmoreng wajahnya
Dekil dan kumal namun matanya berbinar menengadah
Menunjuk bintang yang paling terang berseru ia,
“Kelak, aku akan seterang dan sebesar bintang itu”
Senyap menyelimuti hati ibu yang terus mengadukaduk rebusannya
Walau ibu tahu, batu itu tak akan pernah dapat masak
Setidaknya bisa mengganjal perut anakanaknya

Bulan kembali harus dilalui
Anak lelaki ibu menangis di depan tungku padam
Tak lagi beri panas, sekadar menghangatkan
Semesta alam yang menggigil kedinginan
Anak lelakinya berkata, “besok, aku ikut kapal merentau,
Biar ibu bisa nyalakan tungku lagi.” Lalu, ibu meninabobokan
Tangisan anaknya Biar tak membanjiri ruang dunia
Anakku, kembali kurangkai manikmanik air mata ibu
Sedang di bawah atap langit
Di padang angin berembus sunyi
Nyanyian pilu ibu terbang ke setiap pelosok bumi

Anakku, salahkah jika kelak anak lelakinya datang
Bersama kapal mewah dan seorang putri berkalung
Manikmanik air mata yang dulu dirangkai
Dari air mata untuk anak lelakinya itu
Tak mau mengakuinya sebagai ibu itu
Harus dikutuknya jadi batu?
Hujan yang badai itu sesungguhnya
Manikmanik air mata yang tumpah
Dari bola matanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar