Jumat, 30 September 2011

Puisi Niken Kinanti

NIKEN KINANTI, kelahiran 1990. Tinggal di kota Solo. Menyukai jalan-jalan dan menjelajah ke tempat baru. Bergiat di komunitas Bengkel Sastra Cawe-cawe.

ANAK BERKALUNG TEMBAGA

Seorang tua menanyakan pada anaknya, “Apa arti kota buatmu?”

Anak berkalung tembaga, mengipasi tubuhnya. Jemari tak lagi jadi puisi. Kali telah hilang, melanglang dari otak menelusuri koma-koma. Urat tangannya telah mengakar. Seperti pohon mahoni yang ia setubuhi dengan gergaji. Anak berkalung tembaga, apakah masih mengingat ibunya? Anak berkalung tembaga, meracau selama seratus hari setelah malam meniadakan keberterimaannya pada cahaya. Tubuhnya tergetar sesekali karena langit. Dari biru menjadi abu. Asap-asap meningkahi selusur kali. Anak berkalung tembaga mencoba melepas sematnya setelah petang datang, dan mengiba pada tubuhnya. Kenapa hidupnya menghamba pada beton, pada baja? Mematahi pohon jadi kursi. Menggaruk batu jadi pondasi.

Seorang tua memendam rindu pada anak berkalung tembaga. Dulu, sekali. Kaki anaknya itu kecil mungil. Memainkan telapaknya pada apung, pada pesisir. Pada pasir. Meneriaki kapal-kapal nelayan. Seorang tua mengingat pancingnya juga. Entah berapa puluh sale bergumul dengan api. Membakari keceriaan seorang tua dengan kesederhanaan. Seorang tua masih saja mengucap doa. Bahwa anak berkalung tembaga, akan kembali. Seperti musafir merindukan telaga. Semoga. 

2011

SATU

Satu. Dua. Tiga. Cinta telah menumbuhkan gairah pada laut. Tentang perkawinan abadi. Antara langit dan laut.

Satu. Dua. Tiga. Kabarkan aku tentang lautmu. Tentang eloknya ombak di tempatmu. Bukankah terkadang, manusia tak bisa mengutuki dirinya yang tak tahu diri? Sebab manusia pada dasarnya, telah menjadikan laut sebagai api. Hingga mengukir tempat bernama perkampungan mati.

Satu. Dua. Tiga. Laut sedang menunggu kebesaran hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar