Jumat, 30 September 2011

Puisi Nova

NOVA, lahir di Payakumbuh Sumatera Barat, 19 Juli 1982, sebagian puisi telah terangkum kedalam Antologi puisi Pesona Gemilang Musim Penyair Perempuan Indonesia II (HPSBP) 2004 di Pekanbaru (Riau). Antopologi sayembara puisi Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) Episod Pacar Merah 2005, juara II lomba karya cipta puisi perjuangan 1999 Depsos Payakumbuh, juara II lomba artikel Dies Natalis Adab 2005, juara III lomba karya ilmiah se IAIN IB Padang, 2005, juara III lomba baca cerpen Lustrum Unand Padang Fair 2006, Terbaik Senandung Selawat 2002. Juara terfavorit Umum Lomba tulis baca Puisi Pustaka Bung Hatta 17 Februari 2010, peraih PPWI Award dalam menulis feature aset wisata Padang Panjang, 10 Juli 2011, di berikan pada penutupan malam Festival Serambi Makkah, Padang Panjang. Pernah bekerja sebagai wartawan/reporter Fakta Sumbar, presenter TVRI Padang, Pimred Buletin Fathonah UKM KSI Ulul Albab Padang, Guru SDN 02 Payakumbuh, Marketing Support Officer Rumah Zakat cab Padang, pemateri dalam seminar Nasional USU Medan di Kampus IAIN IB Padang. Relawan ahli sekaligus juri kegiatan anak asuh Rumah Zakat Indonesia Cabang Padang, Divisi Pelatihan Sumatera Barat Forum Lingkar Pena (FLP), sering jadi juri Padang dan luar Padang sampai sekarang. Sebagian karya telah terbit di media maupun majalah seperti, Walimah Tu Ursy (puisi), Bunda Datang Nak (cerpen) di majalah Nasional Tasbih Padang. Tragedi Aceh Berdarah (Padang Ekspress), Artikel di Buletin Fathonah. Sekarang selain mengajar anak jalanan, sering diminta untuk membacakan puisi di acara-acara besar seperti, membaca puisi bersama penyair Perempuan Indonesia di Pekanbaru, penyiar di radio RRI Bukittinggi tentang Budaya, MC petatah petitih pesta budaya/ pernikahan.  Hobi bernyanyi membawa Nova semakin cinta membaca dan menulis. Sekarang Nova bekerja di lembaga kemanusiaan Nasional (PKPU Cabang Bukittinggi), Publiser sekaligus Editor di Pewarta Warga OnLine.

RINDU YANG MEMBEKAS

Kenangan terindah saat aku harus berpisah sedetik menutup rindu,
Di belah jembatan yang menghubungkan dermaga senja di sunset kediaman bunga desa,
Merangkai satu yang tak berujung jua,
pada perahu ba-imbau di tengahnya bernamakan pilu berwarna surya.

Aku tak kuasa merangkai lambaian yang terkulai,
yang me-mercik-kan tangis pada bukit bertuan bunian,
disana ada sepasang tulang yang menjadi saksi adanya kota berfalsafah demokrasi.
Rambut panjang terkulai, menatahkan tanda di jemari sesak,
Tertinggal namun terpisah pada ubun-ubun malin kundang,
Dan menjilat di atas anjungan nagari.

Rinduku yang membekas,
Pada saat gelombang menampar arsinya lautan,
Dan menundukkan langkah di atas pusara ibu bapa,
Sedangkan aku belum melambang adat yang kian hari kokoh terhempas pergantian tahun,
Malu dan…, ah.., aku merindukan suasana itu lagi.

Ada nostalgia yang mengikatku untuk selalu pulang,
Dan bersimpuh pada manisnya kenagan itu,
Walau rasa ini mencemaskan raga.

RUANG TAK BERUJUNG

Diatas sana ada lingkarang yang mengingatkan,
Kisah kasih keindahan yang menjurus dalam keberagaman rupa,
Sipit, besar, putih maupun hitam,
Berkumpul satu asa yang tergadai dengan angka kemasyarakatan.

Sapa muram mengintai hati yang terpenjara dari modernnya arah,
Aku kamu bahkan merekapun tak mau tahu dengan permasalahan robohnya putik yang tak lain adalah rasa dia yang telah lama pergi.

Aku termanggu sejenak mengenang indahnya pelukan hangat alam yang damai,
Lelah rasa hati memejam tangis,
karena,
Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisi rupawan dalam lubuk hatiku,
Bahkan tak berani ku menduakan ada ruang di sudut hatiku yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar