Jumat, 30 September 2011

Puisi Zulfa Wikarya Nasrulloh

ZULFA WIKARYA NASRULLOH, lahir di Bandung, 21 Januari 1993. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Sebagai Ketua Kesenian Himpunan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ia sukses menggelar acara pameran puisi nasional M’ Isolo el Vivo. Mengikuti Rakernas Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Indonesia (IMABSII) di Singaraja Bali tahun 2011. Berbagai karyanya diterbitkan di Majalah Literat dan berbagai majalah kampus lainnya. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan mendirikan Komunitas 122 ribu bersama rekan seperjuangannya. Sekarang tinggal di Majalaya.

PERLAMBANG KOTA, PERLAMBANG CINTA

Hanya lambang sederhana.
Trapesium berkaki sama,  warnanya merah menyala.
Rangkiang berbeda dari gunung, laut dan senjata pusaka.
Pita biru muda membentang huruf-huruf janji kita,
“Padang kota tercinta.”

Bagaimana bisa kau masih waspada.
Ketika tanduk kerbau kustilir,
mengkilap hitam terukir.
Menjadi perisai bagi tubuhmu yang masai.
Mengutuk retak sebab nyawa bagimu perak.

Darah banjiri tubuhmu.
Perisai rubuh tertembus akal bulus serumpun tikus.
Permainan kata mulut-mulutnya yang menganga,
mengkilap merah gigi-gigi tajam penuh darah.
Tikus sebut kehormatan,
tubuhmu mengerang kesakitan.

Kusimpan harapan pada Gonjong agungmu.
Semisal nyanyian pecah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.”
Lalu kerisku merawatmu dari hentakan zaman,
penggada menusuk lawan dan lima gelombang mengantar engkau pulang.
Gunung menjaga laparmu, tanah hitam tempat tumbuhan terbenam.

Begitu tiba-tiba, Gojongmu doyong menyongsong peradaban,
keris terkikis miris, penggadaku patah tapi kau hanya terengah.
Maka kerinduanku padamu melempar gelombang, 
mengulum kota yang tenggelam menyenangkan.
Dan doa pun terkabulakan, meski darah tersepai di ujung  pantai,
gunung hilang akar, bergetar bersama tubuhmu yang lapar

Kususun kata yang agung kuning kenanga,
pada awan putih setipis sutera.
Ucapan kasih yang menyisih kebencian, menasbih dzikir kerinduan.
Serupa angin, kadang menyayat pilu atau jenuh menjadi gerimis yang riang
“Padang kota tercinta” kuharap selalu terngiang.

Rasanya kau tak pernah terngiang.
Hanya sebutan yang menghiasi langit siang,
atau malam ketika kau tak sedikitpun dihiraukan.
Haruskah aku menyapamu kembali.
Lewat air, tanah, udara,
mengusikmu yang yang selalu merindukan kebenaran.

September, 2011

PADANG TANPA BATU

: Mrs. S

1
Aku mencarimu dari jejak yang retak oleh angin,
getir mengulum ujung bibir.
Sedang kau hanya titik, serupa fatamorgana di ujung pandangku,
pada Padang yang memanjang tanpa batu.
Kau melangkah samar di ruas-ruas hari,
dan mata pijar yang memanjang: mencekam.
Bayanganku larut dalam malam,
kau belum lengkap kutemukan.

2
Menguncupkan perasaan padamu adalah hilang satu bagian tubuhku.
Sedang beribu rintik dewasakan hijau tubuhmu.
Aku menamai setiap tanah yang kuning, kau ranggas, keras dan kering.
Tapi aku tungku yang menakuti langkah cemburu.
Pun angin berdebu yang mengusik pucuk daun persembahanmu untukku.
Kau tak akan menemukanku di Padang tanpa batu.
Hanya rintik air  penegak debu,
gumpalan harap perubah nasib lekas yang ikrar.

1
Malam takluk kembali.
Hanya tanganmu yang terkumpul di kantung pagi.
Ketika itu halusnya menyapa kering cabangku yang gemetar.
Pun beberapa potong senyum datar,
tapi tak akan sampai lapar aku hisap harunya.
Ia tetap utuh menjadi pengayuh desir darahku.
Serupa debu yang bergemuruh diputar angin (bungkuslah ranting ingatan)
Aku tetap mengenalmu sebagai padang lenggang,
penggoda cabang-cabang, menjadi riang dalam badai.
Meski pertemuan hanya bayang-bayang,
dan aku patah kau hembuskan.

2
Padang ini memang tak pernah berbatu,
tapi kau beku. Tak perlu air turun di gersang pandang matamu,
pun debu dan pasir halus tangan-tanganku.
Kau masih menyamar dalam jejak langkahku yang pudar.
Sementara kakiku bercabang (mengingatmu seluruh tanpa bayang).
Menebar jejak-jejak yang parau.

Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar