Kamis, 29 September 2011

Puisi F. Rizal Alief

F. RIZAL ALIEF adalah nama pena dari Faidi Rizal, lahir di kampong terpencil koththa Songenep Madura ’87 kemarin. Pernah aktif di berbagai komunitas seni seperti Lesehan Sastra dan BUdaya KUTUB Yogyakarta, sanggar Nuun Uni versitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisi dan cerpenya telah termuat di media massa seperti Majalah Sastra Horison, Suara Pembaruan, Jawapos Group, Lmpung Pos, Banjarmasin Post, Surabaya Post, Surya, Koran Merapi, Minggu Pagi, KR Bisnis, Harian Joglosemar dll. juga masuk dalam antologi bersama. Seperti Mengukir Cahaya Ramadhan (Puisi, 2011), Kitab Lintas Musim (Puisi, 2011) Bulan Purnama Majapahit Mojokerto (Cerpen, 2010), Bukan Perempuan (erpen, 2010) dll. Kini bergiat di Komunitas Rumah Senja di tanah Bandungan Madura.

SEPASANG PUISI DI KOTA TUA

            1./
Bersama Siti Nurbaya

            Siti, pada matamu yang biru, aku lahirkan kata-kata. Kata-kata yang memiliki dua sayap. Satu sayap membentang ke jantung matahari. Satunya lagi menyentuh hati bulan yang sunyi. Bila pagi hingga sore hari kuajak dirimu pergi. Melihat pulau-pulau yang tak pernah kau singgahi; matamau bergerimis. Satu-persatu buliran itu menjadi waktu yang berlalu.

            Dan di malam hari bulan bulat purnama mengeja aksara-aksara beku dalam dadamu, dalam jantungmu, dalam aliran darahmu dan seluruhmu.

            Siti, dengan kata-kata itu pula aku bisa mengajakmu terbang ke manapun kau inginkan. Sebab di dalamnya ada sebuah ruang yang pintunya selalu tak pernah kututup. Agar matahari dan bulan tak saling bertabrakan. Dan aku bisa mengunjungimu. Sewaktu-waktu.

            Menaruh keduanya di atas kepalamu. Di sepanjang sejarahmu…….

            2./
Dongeng Si Malin Kundang
           
            Malin, masih kudengar detak jantungmu dari dalam batu itu. Bagai ketukan palu dan pintu. Bunyi itu mengingatkanku pada tangis bayi mungil yang ingin menyusu pada ibu. Dan terlelap di buaiannya. Sepanjang masa.

            Dari dalam itu pula, terus kudengar setiap bunyi tetes demi tetes air matamu melubangi batu. Hingga retak. Utuh lagi. Retak lagi. Utuh lagi. Sampai air matamu yang bersimbah hanya meresap ke dalamnya.

            Aduh, Malin. Bagitu kuat mantra ibu. Sampai-sampai menutup seluruh aliran darahmu. Menyumbat detak jantungmu. Hingga seluruh tubuhmu beku di sepanjang waktu. (Tanpa kutahu di mana Ibu).

            Sempat kudengar, Malin. Ibumu masih berdiri di depan waktu. Sambil memegang seperangkat bajumu yang dulu. Katanya diam-diam ia masih menunggu waktu ratakkan batu. Ah. Begitu naluri seorang Ibu?

Yogya, 2011





Tidak ada komentar:

Posting Komentar