Jumat, 30 September 2011

Puisi Mugya Syahreza Santosa

MUGYA SYAHREZA SENTOSA atau Faisal Syahreza, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Cita-citanya menjadi dokter tapi sayang tidak kesampaian, hingga beralih menjadi seorang pekebun saja. Menyukai beberapa sajak yang banyak ditulis penyair keren dari padang, seperti Esha, Andha, Deddy, Romi, Heru Romi dan banyak lagi. Sesekali menulis puisi di status Facebook, dan men-tag pada sahabatnya. Sesekali melisankan cerpen hingga lupa menuliskannya, dan sedang membayangkan membuat novel.

ES DURIAN GANTI NAN LAMO

tak ada musim yang menghalangi kembangku jadi
juga ketika di seberang sana, mereka sibuk memujaku
dalam supermarket dan toko buah.
di antara kawanan lainnya, aku duduk bersila-mewah
dengan –lebih mirip para anak buah, anggur merah pemarah
kiwi import yang sungkan dibeli berlimpah atau apel Cina
yang kini pura-pura bermurah hati kepada pelanggannya.

lantas orang seberang sana, seenaknya memberi nama
dengan semisal nama tokoh cerita dan kata penolakan.

tapi di sini, sekali lagi aku tantang musim
tak ada yang berani menghalangi kembangku jadi.
sampai menemu waktu berbuah, sampai bijiku mirip
bola mata mentah,
dan kulitku cukup pintar mengelabui isinya.

sampai kau harus berani membelah, melumat daging kuningku
seperti Incek Sinyo, menemukan cinta baru bagi silsilah keturunanku.
kitab racikan yang tak pernah memungkiri berkah pada diriku.

oh serutan es atau setabur duli sagu, atau sekental
susu coklat manis saja cukup menguatkan lidahmu,
jadi lintah yang menghisap gairah, sibakkan gaun seratku.

atau daun cingcau yang jadi hijau agar-agar
kau parutkan dan campak ke dalam puakku
maka lautan aroma makin melambungkanku.
legit juga licin kulit lebur dagingku, akan menyeretmu
menjeratmu ke alam kota bawah sadar
mengutuk cita-rasa seleramu.

SEPERTI PENYAIR

seperti penyairmu, mungkin ada bekas luka sayatan di lengan kanan
jalan menujumu. dari kampung ke kampung yang dilewati, kemudian
menciut sepanjang perjalanan bus. ada tebing yang seakan memohon runtuh.
dengan pepohonan tua, meringkuk bagai pola ceria remaja. 
atau sekilas warna pantai, melambai bagai ikal rambut dikutip baris sajak.

yang harus aku maklumi di setiap warung bahkan toko sesampainya di pusarmu,
adalah udara yang mengambang, membikin gatal mataku.
melirik gadis-gadis berwajah tegas, dengan logat cergas di tiap ujung kata.
laki-laki yang mulai menggandrungi mencat rambut, merantai dompet
ke sabuk, menggambar angkutan atau masih setia si kakek
tua bersenandung lirih, dengan songkok sahaja.
kemudian  aku berpura-puralah khidmat lebur dalam cakap-cakap mereka.
anginmu khas rempah. tapi debu genit menempel di tiap wajah.

seperti Esha yang gemar meracau lembah Harau, gelombang ombak
di rambutnya yang tergerai. mungkin engkau mencoba merajuk-reguk
arak tiap saat, berkomplot menikmati cuaca panas retak di tiap dahi pribumi.
seperti Romi yang rajin menelisik kelamin binatang, demi memberitahu
bahwa lalat itu jantan, kumbang itu jantan, sampai harimau juga tak pernah
bernyali betina. mereka banyak yang merantau, bahkan sampai sulit di tawar
kalau mereka sedang menggelar di jalan sampai pertokoan.
kau juga mungkin menyembunyikan  mesra yang mahal, perawan yang halal dan
rindu yang rindang.

ah seperti udang Heru yang tak lagi sembunyi di batu, atau puisi lukisan arif, yang
kata-katanya mengingatkan pada pameran kickfest, aku ingin memasuki toko
serba lima ribu deddy, atau bermain drama naskah Pinto saja.
barangkali, engkau sabar menungguku di luar –luar yang luas penuh cemerlang,
karena aku akan sebentar menuliskan bulu getar-geletar
yang rontok setiap kubayangkan jalan menuju selangkanganmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar