Jumat, 30 September 2011

Puisi Eka Tizar

EKA TIZAR, dilahirkan 26 tahun yang lalu di Garuntang, Bandar Lampung pada 2 Mei 1985. Mulai menggemari dan menekuni dunia tulis menulis dan seni, khususnya seni pertunjukkan (teater) semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Hobby membaca dan menulisnya terus berkembang, hingga di bangku SLTA ia mulai bergabung di beberapa sanggar dan organisasi kepenulisan. Diantaranya; Sanggar Sastra Siswa Indonesia-Lampung dari majalah sastra Horizon dan lembaga Ford Foundation, Forum Lingkar Pena-Lampung, Forum Halaman di Taman Budaya Lampung di bawah asuhan sastrawan dan budayawan Isbedy Stiawan Zs dan Iswadi Pratama. Hingga duduk di bangku kuliah, Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, ia juga bergiat di Unit Kegiatan Jurnalistik kampus, Yasmin Akbar dan bergabung pada Sanggar Pelangi Yayasan Citra Budaya di bawah asuhan cerpenis Sumatera Barat Yusrizal KW. Pengalaman kerja di bidang jurnalistik adalah menjadi pengasuh redaksi Khusus Siswa pada surat kabar harian Lampung Post (2002-2003). Karyanya berupa cerpen, puisi, artikel (feature) sudah beberapa kali dimuat pada surat kabar lokal, baik di Lampung maupun di Sumatera Barat. Karya puisinya juga berhasil menjadi finalis pada lomba cipta puisi yang digelar oleh DKSB (Dewan Kesenian Sumatera Barat), dan dibukukan dalam antologi “Dua Episode Pacar Merah” (2005). Beberapa kali menjuarai lomba cipta puisi dan cerpen tingkat sekolah, fakultas dan universitas.

BALADA BOCAH PEMINTA-MINTA

Aku membaca malam
Dari kabut menjelang
Di balik hari persinggahan yang kian panas menantang
Padaku yang menjajaki sepenggal jalan kelam

Sepenggal jalan penuh duri terjal menerjang
Menghalang langkah para makhluk tuhan yang setiap hari menangguk kesalahan
tak berbilang
Aku lintang pukang
Pada bilangan tak bergelanggang
Pun pada roda-roda yang menggilas sesak jalanan terang
Di setiap sudut kota Padang

Aku hilang arah langkah tujuan dan pandang
Kemana-mana kudapati sesak pedagang
Ke setiap arah langkah kujajaki kutemukan kisruh wajah wajah terpanggang
Kalangan atas kalangan bawah ramai bertandang
Ke arena pertarungan hidup yang sedianya menantang

Hingga seluruh penat terpanggul di tubuh kurus ku
Tetap saja langkah kaki dan pandangan mata kuarahkan tak menentu
Tak ada suatu kepastian kutuju
Pun tempat mengadu
Sesiapa lah yang sudi mendengar kisah seorang tak berbapak tak beribu sepertiku ?
Padaku tak ada seumpama pengharapan
Adakah esok pagi kan datang atau selamanya malam kan tersiram hujan
Tak pernah kupertanyakan atau pun jua kupersoalkan pada Tuhan
Bagiku asal saat ini sang lambung tak mengerang minta makan
Itu saja sudah cukup untuk secuil ketenangan

O tiba jua kiranya kau malam ,,,
Bilakah wajahmu tak lagi berwarna kelam
Telah begitu bosan rasanya ku meresapi muram
Adakah suatu tempat di satu belahan dunia yang sekiranya tak pernah hitam
Hanya warna-warni semarak menghadirkan indah bersemayam

Dari satu langkah ke langkah lainnya aku berpijak
Menahan kelemahan dari sunyi kian merangkak
Tak ada dalih untuk hanya diam terpaku sejenak
Sebab aku memburu tangan-tangan terulur yang akan memindai sesak
Tak ada pilihan lain , aku teriak
Aku harus terus bergerak, bergerak dan bergerak !!

Lima jam sudah tubuh kerontang ku terseret kian kemari
Menemani matahari yang sukacita menari-nari
Tiada lagi apa sesiapa kucari
Dengan bekal beberapa ribuan di tangan aku sudah cukup puas ini hari
Kini saatnya menjejaki tuan lambung dengan sesuap nasi

Warung ampera murah di sudut pasar yang pesing
Disinilah kuminta sang amak membungkuskan nasi kering
Kubawa merta , bersama langkah ke taman kota
RTH Imam Bonjol begitulah menyebutnya

Tengah kumenikmati santapan siang , hanya nasi kering berteman kerupuk garing
Lamat sayup kudengar teriakan-teriakan jauh, kian lama kian nyaring
Mereka-mereka berseragam berserabutan turun dari mobil bak terbuka bertanding bising
Menyebar ke pelbagai arah , lurus dan miring
Satu diantara mereka ke arah ku sembari memutar satu pentungan ke atas bagai gasing
Disinilah akhirnya ........................ aku terjaring

Padang, 13 September 2011

RANAH HARAPAN

Kendati darah kelahiran tak mengucur disini
Namun disinilah hati terpatri
Padang kota tercinta, kujaga dan kubela
Begitulah semua orang mengenalnya

Dalam desah, dalam lara , dalam asa, dalam angan semua tertuang
Kenangan dari awal menjejak di ranah andalas ini tak ada yang terbuang
Semua tak lekang dalam ingatan
Tak padam digugat zaman

Siapa yang tak kenal burung balam
Mendengar kicaunya hilanglah muram
Di Nagari inilah pertama kali kutemukan
Adu balam khasnya kota Padang daerah pinggiran

Kawan......... ke tengah kota pula kau melangkah
Kota cantik anggun tak bercelah
Yah, andai saja benar-benar tak ada sampah
Wajah kota indah ini akan mampu menyumringahkan muka-muka lelah

Lalu coba pula kau merambah ke sudut lain
Banyak rumah-rumah Tuhan tempat berlindung sang Garin
Kentalnya agama masih terjalin
Baik dari generasi tua ataupun muda
Mengaji dan membaca asmaul husna
Senantiasa mengalun dari sudut-sudut bibir para murid TPA

Budaya sejarah cinta dan keindahan semua bersatu menyatu sangat padu padan
Dengan perumpama yang kerap memandang kata-kata menari bersayap dan bebadan
Juga sejalan dengan para penikmat matahari terbenam di taplau kota Padang
Darinya kan banyak serpihan kenangan membentang

Kendati darah kelahiran tak mengucur disini
Namun disinilah hati terpatri
Hingga kuberharap suatu hari nanti
Tubuh kaku ku kan tertanam.................. disini

Padang, 27 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar