Jumat, 30 September 2011

Puisi Alizar Tanjung

ALIZAR TANJUNG, Sekretaris Umum FLP Sumbar, lahir di Solok, dusun Karang Sadah, 10 April 1987. Ia sekarang tercatas sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam di IAIN Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat. Beralamat di Komplek Cimpago Permai RT 03 RW 04, Masjid Darul Falah, Kelurahan Koto Luar, Kecamatan Pauh, Padang. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai, dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional; Harian Tempo, Sindo, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Suara Merdeka, Sumut Pos, Pewarta Indonesia, Berita Pagi (Palembang), Linggau Post, Singgalang, Padang Ekspress, Riau Pos, Haluan, Majalah Sabili, Majalah Gizone, Majalah Annida Online, Majalah Tasbih, Suara Kampus., Majalah Mayara. Tulisannya berupa cerpen dan puisi termaktub pada beberapa Antologi, Rendezvous di Tepi Serayu (Grafindo Litera Media, 2009), Bukan Perempuan (Grafindo Litera Media, 2010), Puisi Menolak Rupa (Unggun Religi, 2010). Kerdam Cinta Palestina (Felipenol, 2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Triwulan 2010 (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, Oktober 2010).  Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Triwulan 2010  (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, Oktober 2010)  Lelaki yang Dibeli (Grafindo Litera Media, 2011). Tergabung dalam Nominasi Anugerah pena kategori cerpen dan esai terbaik 2009 (FLP Pusat). Pemenang harapan 6 lomba cerpen LMCR-2009. Nominator lomba cerpen tingkat mahasiswa se-Indonesia 2009, yang diadakan STAIN Purwokerto. Nominator lomba cerpen dan puisi tingkat mahasiswa se-Indonesia 2010, yang diadakan STAIN Purwokerto. Juara I cerpen “Kurungan” dalam lomba cerpen Sumbar yang diadakan Genta Unand tahun 2009. Juara tiga lomba cerpen Islam sekampus IAIN IB Padang 2008. Juara II lomba cerpen Ganto UNP (2011). Bergerak di Forum Lingkar Pena (FLP Sumbar) dan komunitas Kedaikopi, sekarang lagi diamanahkan sebagai Sekretaris Umum FLP SUmbar (2010-sekarang). Dia juga diamanahkan sebagai redaktur sastra Majalah Tasbih (2009). Di kampus dipercaya sebagai tim redaksi jurnal Cerdas Fakultas Tarbiyah, IAIN IB Padang (2009-sekarang). Redaktur sastra koran Suara Kampus (2010). Redaktur Pelaksana koran Suara Kampus (2011). Dia juga aktif dalam keorganisasian Forum Studi Islam Khairul Ummah, Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.

BURUNG ANDALAS

                        seekor burung andalas terperangkap dalam cinta,
                        burung bersayap emas bertulang cangkang perak,
sayapnya mengepak batang arau dan membendung emmahaven,
liurnya membadai samudera.

            sepasang sayap burung andalas patah ke batang arau,
sepuluh pasang sayap burung andalas tumbuh dari mulut ikan padang*,
liurnya mengombak ke langit.

aduhai anakanak burung andalas terbang liar dalam sangkar cinta,
menghisap air puting susu ibu di pasar gadang,
bergantung riang di rimbun ranting beringin andalas.
            cakarnya mencakar “patah tumbuh hilang berganti”.
                        paruhnya warna biru batang arau.
                                    kicaunya siul
                                    pohon beringin
                                    andalas kuranji.

(Padang, 2011)

*catatan: ikan padang di ambil dari judul puisi Deddy Arsya

SEORANG GILA, SEORANG GILA

Seorang gila bertjerita bersama seorang gila­­–– tjompang tjelana, bajoe, ramboetnja–– di Batang Araoe menghadap gedoeng-gedoeng toea, memandang bekas pelaboehan Emmahaven, Padangsche Spaarbank yang memiliki tiga djendela lebar dengan kerangka besi di atasnya, De Javasche Bank, jembatan kisah roman Sitnoerbaja. Seorang gila pertama berkata dengan memegang kepalanja, tertawa dan geleng-geleng kepala. “Akoe hafal betoel orang-orang dikoeboerkan di Koeboeran Tjina, pembantaian etnis Tioanghoa. kemoedian tangisnja jatoeh ke langit, berziarah, orang-orang batja jasinan.” Orang gila kedoea geleng-geleng kepala, menjadikan permen, oejoeng jempolnja jang karatan tanah. “Ah ngatjok kamoe, mana ada air mata ke langit, mana poela ada ziarah dan jasinan mereka. Tjoba boektikan di mana koeboeran Tjina?” Orang gila pertama tertawa. “Kan kita orang gila, mana ada orang gila jang tjakapnja betoel. Kalaoe batoe Malin Koendang saja kita katakan itoe diboeat orang akibat kisah Malin Koendang anak doerhaka, tak ada jang pertjaja.” “Kita orang gila,” oejar orang gila kedoea.

Orang gila pertama melanjutkan ceritanja dengan mengangkat ketiaknja, ketiaknja dengan boeloe loemoet Batang Araoe. “Kalaoe di Padang ini juga ada lobang japang di Goenoeng Pangiloen, di poendjaknja jang tertoetoep hoetan dan roempoet. Pernah dimoeat di koran dan hilang begitoe saja dari tjerita.” Orang gila pertama mengangkat tangannja, “Hormat grak.” Orang gila kedoea doedoek saja di batang araoe jang koemoeh dan bertanja, “Kenapa ‘siap grak’?” Orang gila pertama menoeroenkan tangannja dan beroejar, “Menghormati orang jang mati di puntjak Goenoeng Pangiloen.” “Ah kaoe bertjanda saja, kita ini orang gila,” kata orang gila kedoea mentjoengkil loebang hidoengnja. “Kita orang gila,” oejar orang gila kedoea.

“Akoe soeka jadi orang gila tak loepa sejarah. Akoe joega hafal betoel Pasar gadang, Pasar Batipoeh, Pasar Moedik, Pasar Hilir, Pasar Malintang, Pasar Ambadjang, Pasar Niaga, Pasar Poelaoe Air, Pasar Djawa. Batang Moeara doeloe Batang Araoe. Pasar Baroe adalah Rimbo Kaloeang penoeh rawa tempat berenang Mak Hitam pada masa penjajahan. Toenggoel Hitam tempat boemi bertanam boemi lokasi arena patjoean koeda dan priboemi jadi boedak,” oejar orang gila pertama menghoesap peloehnja di bawah panas matahari Batang Araoe. “Saat itoe kita makan setekong beras ditjampoer oebi oentoek lima orang satoe keloearga,” lanjoetnja. “Kita orang gila,” oejar orang gila kedoea.

“Adjo kita beli kembali djabe, kentang, katjang, tjengkeh, pala, koenjit, jahe, lengkoeas, serai  di Emmahaven!” kata orang gila pertama. “Kita joeal ramboet, tjelana, bajoe djompang kita,” katanja kembali. “Kita orang gila,” oejar orang gila kedoea.

(Padang, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar