Jumat, 30 September 2011

Puisi Reza Anindita

REZA ANINDITA, seorang laki-laki penyendiri yang bersarang di Jalan Plamongan Peni I no. C.97 Semarang, Jawa Tengah. Dilahirkan 11 juli 1985. Suka membaca berulang tanpa tergesa. Punya mimpi semacam tugas suci dalam gegasan tahun ini. Masih nihil prestasi kepenulisan, sebab secuil pun belum didapatkannya, meski ia tak menyangkal sudah banyak puisi dibuat, berjejal pula, artinya tanpa pernah terpublikasi. Tentang kepenulisan ini ia hanya coba guritkan kata, sebagai tenaga agar semangatnya tak mudah tanggal, meski tempuhan jalan kerap terjal, dan kegelisahan imajinasi berpotensi menitiku ke arah ajal.

JANTUNG PADANG

Jauh di lapang posturmu
yang kekar terasah kaku
lasah tanahmu terlentang
menyarung pedang
serupa jantung penampung
perantau minangkabau
terangkai damai ke pori nagari

sampai aksi gigih koto dan pauh
mendadak meradang mengelucak bara api
melumur ganjur penyula raga kompeni.

meski tinggalkan kekalahan berarti
bagi perbatin adat tapi gelora riwayat  
sepenuhnya abadi arungi samudra hati.

tahun pun berlari rangkaki jejalur nadi
menyeret gelondong bangkai perodi kopi
dari kencang arus cemeti yang terayun
dari tangan besi kompeni.

membanjirlah darah batipuh !!
meruah kuah sejarah
mengucur di sekujur aksara multatuli
bagai cerita tuba bertema drama kopi
yang tereja di kedai pribumi

pedih bagai lada
kala menyuluh mata
bertutur petuah:

“ingatlah di secangkir kopi
pernah tertumbuk hak bercocok
petani yang menyeduh
amarah penduduk batipuh”

sekejap segenap kisah tiba-tiba hening cipta
saat penyakit aneh menyanggit lempengmu.
serupa meriam dentumkan gempa 8,7 skala ritcher
menyembur lendir tsunami melengketkan ribuan penghuni
terkunci mati dalam pintu serambimu.

tanpa bisa di terka esoknya
mendadak kau pompa kembali gempa maha
tektonik bertekanan tinggi
menelan ngeri jiwa saudara kami.

barangkali jantungmu serupa derek pematang
bagi setumpuk jasmani paruik yang kelak remuk
usai lama terpupuk kelana dari lautan darulfana

kini sesudah segala tubuh enyah kau kunyah
seluruh sisa suku bergandeng padu
saling kepang dengan perantau baru

merangkai sekresi zikir penyangkar gempa
mengukup tasbih lantaran kami kerap acuh
menggantih silsilah panjang yang tergancu
di punggung jantungmu :

“tenggaklah racik obat dari kami
semacam ramuan doa agar batukmu
henti sejenak dari menghentaki pribumi".

bak katup waktu lempengmu redam membisu
meski kedutan berangka 5,3 skala ritcher
sempat tercecer dari hitungan kasar
dokter Badan Metereologi-Geofisika.

dan tepat saat kau berusia 342
kala petang mewarna gelita batu bara.
dikalungi rindangnya langit gadang
sejenak jantungmu relaksasi
membumbung tawa riang suku minang
yang asyik berjejal menambal tiap nyeri lubang
usai di tindik tsunami di tapal lumpur pesisir bayur
seraya meleler gembur kata :

“pakailah rajut gambut ini
buat kerudungi pantaimu
supaya semua yang terpatri
terlindungi dari kongsi tsunami
serta gertak ombak yang sulit
diajak kompromi”

seketika kau merupa kembali seperti bayi terberkati
menandai aroma nostalgia masa lalu
kala terpinang ayu sebagai primadona kapal kolonial
bergelar bandar eropa yang berselempang
silau transaksi emas serupa paras manis gadis minang.

“syukurlah cadarmu
telah menyaput auratku
kini tsunami
tak terlalu bernafsu
menggoda syahwatku ”

ujarmu genit merayu
membujuk penghulu merajuk satu
di lapang jantungmu sembari bertutur lugu :

“kemarilah panah aku
dengan khazanah sejarah baru”

seperti memerdu lagu
kau ajak bertempik cucu minangkabau
berteduh di bawah temaram lampu
sambil termangu lalu berseru :

“Hei, singgahlah ke tepi
telukku seperti tempo dulu
ketika bau rendang bertabur
gurih moto mengukir motto
namaku: padang kota tercinta
amboi, serasa menendang
lambung pengunjung”

shubuh pun menyepuh wajahnya
ketika jangkar tumbuh subur
menempa jantung padang memagut
cubit lembut kuku kerbau
seperti dahi pribumi sujud merumput
di penjuru permadani tanahnya yang hijau.

lalu kau pun terharu
hingga dari kerling matamu
menyala telaga cahaya
tercengkung bagai rupa Siti Nurbaya
yang bergelimang tenang
disesaki gerak arai tari penghuni
yang berdetak mengaliri anai suara pawai
puncak pesta kelahiranmu :

“selamat ulang tahun padang
selesai juga kami mencangkok
jantungmu semoga kontraksimu
tak lagi mengaduk tubuh dan rumah
sanak kami hingga mimpi kami
mampu bersirkulasi kembali”

Semarang, September 2011

NB :
1.      koto dan pauh : desa (nagari) tempat suku berdiam
2.      batipuh                         : pemberontakan rakyat batipuh karena merasa terbebani dengan adanya budidaya kopi yang makin lama makin memberatkan
3.      derek               : kampung halaman
4.      paruik               : suku seperut/semamak
5.      multatuli            : penulis novel belanda dalam hal ini menulis tentang pemberontakan kopi di padang
6.      teluk bayur       : zaman dahulu disebut Queens bay teluk yang menawarkan perlindungan bagi kapal-kapal dari angin laut sehingga bisa berlabuh dengan tenang.
7.      gantih               : memintal
8.      gancu               : mengait
9.      anai                  : sungai bagian barang kota padang
10.  arai                   :nama lembah bagian utara menuju bukittinggi




GODZILLA

Kepada tanah padang

di sini aku cuma zarah yang kau cecah
pada sepenggal kisah tanahmu sewaktu
masih hangat mengerami sebiji induk kompeni
menetas Van Den Bosch berperangai keji

perancang gulungan plakat panjang
yang terkandung sederet perjanjian:

bedil-arit serta berjejal
perangkat malapetaka
biarkan terlantar dan berkarat ”.

siulmu sambil melambai pribumi
supaya menyudahi tikai selama ini

tapi betapa terkutuk segala janji
hanya dubuk belaka

hidung benteng berpusara mengitari nagari
berbiak menyemai bangkai budak kopi

sedang moncong pakus dihujam keras
bagai sarang beradu dengus
seribu paras serigala ajudannya

menjebak paceklik sewaktu cakar
kukunya mekar menipak jejak pajak
mengkoyak selaput perut jasad berlubuk

sampai tanahmu rekah menitah sesosok pemberontak
berjuluk Tuanku Mudo yang bercangkang pejuang
di lembah Alahanpanjang.

Maestro strategi penambo
nyala abadi api padri

kala Bauer bergelar perwira peninju pribumi
berkawal laskar lima puluh koto
bercampur bala tentara artileri belanda-jawa
serta markasit zeni dibuat terlecut mengudara
bagai rajut boneka prajurit tak bernyawa

bertumpang-tindih
tercincang bagai daging rendang
yang merepih di hujung lembah.

Namun lantaran terbantun hakikat bambu
penjerat mendadak balik memburu
berkelebat serupa guliver bermanuver
membabat hulubalangnya bagai liliput
di bebukit terjal pusat benteng bonjol
melekat erat di kaki langit.

inilah perang saudara
yang kita tafsiri revolusi
kendati makna semangat
menyerat hasrat gizi
di perigi rakyat
sampai saat ini

entah mengapa desis racun perang saudara
masih saja menghamba di batin anak cucunya :

“mangsa terus sesamamu”

apa lantaran sentuhan setan taring sengketa
terasa kekal berkeliar menjamah dada :

“adakah kau tahu”

Mungkin hanya jika menyabuk satu
serta tunduk niscaya kerak tandukmu
mengepak sayap petunjuk memeluk
serupa terpangku mamak peminak paruik rantau

memijat nasihat :

“walau bercorak suku tak perlu pada sesama
hati bertumpuk bara dendam tapi saling redam
bertumpu seimbang serupa jeruji roda pedati”

“ kecuali jika dagingmu
hendak cicip lancip badikku”

terenggut serupa bandit peneror rakyat
tercengkam di pancang gantung plein van rome
berdinding lapangan kota roma

sesudah akhirnya kau tabuh gemuruhmu
dari bawah jubah kulit tanahmu menggelegar bagai halilitar
serupa tombak membidik segala yang berserak :

menderum gempa
menguak ombak
menuai tsunami

meletupkan amarahmu yang karang
mengatupkan ribuan tulang belulang
hancur lebur serupa butiran kapur

terkebat ekormu lewat talu abad
bagai cambuk waktu menerbitkan lindu
melipat tembatu menyabet ribuan suku
supaya berswasraya bertekuk lutut
menyejuk sejenak pada lekuk periukmu.

Barangkali segala bencana pahit ini
meriwayat karena aku terlampau fana
melebur rasa syukur

Angkuh yang kokoh mewujud durhaka
ketika menindih di atas sejengkal cadasmu

menyisa serompal batu
yang mengekal di bubu kalbu
seolah dalam tubuhku
terbaring beku arca baka
sang pembangkang malin kundang.

Membuat sadarku terpatuk :
sebelum kutuk ini berlanjut
hendak kuucap harap mengertap ayat
meluap dari mulutku sembari kuenyam takzim karang
yang mengembang bagai sujud bunga
denturkan lembut bibirku di sekujur
sisikmu beralmanak naga

menyelimuti seuntai doa
supaya menyamak pada sesosok
makhluk buruk rupa pemercik gempa
yang sedang meringkuk dalam retak tanahmu.

Semacam kado nina bobo
menudungi nyenyak amuknya yang perkasa
agar tanahmu jinak sejenak

agar kelak jika dengkur lebuhmu merupa petaka
telah kuakrabi bukan layaknya bencana
melainkan telah meraba dada
tak ubahnya geletar surga !


NB :

1.       Godzilla : sosok monster yang diciptakan eiji tsubaraya sebagai simbol alam yang sering diguncang bencana dan tragedi sejarah di jepang (pada judul dimaksudkan bahwa alam padang memiliki kemiripan dengan jepang baik prahara perang atau tsunaminya).
2.       Van Den Bosch      : nama komisaris jenderal  pegawai belanda tertinggi tetapi terjahat yang pernah dikirim ke padang
3.       plakat panjang    : dokumen resmi yang diprakarsai van de bosch berisi janji kedamaian pada rakyat agar menyudahi segala pertikaian ketika itu.
4.    nagari           : desa
5.    Tuanku Mudo : nama ulama dari tuanku imam bonjol
6.    Alahanpanjang : nama nagari di kabupaten pasaman sebelum  bernama bonjol
7.    Bauer               : pimpinan militer belanda di padang pada saat perang padri yang diganti karena tidak berhasil menembus benteng bonjol meski dengan ribuan pasukan gabungan belanda-jawa dan beberapa koto
8.    plein van rome : lapangan kota roma tempat menggantung penjahat peneror rakyat
9.    paruik : perut
10. pakus : logat daerah padang yang berarti gudang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar