EPITAF ARAU
Nurbaya!
Dia buat negeri di sanding gunting bajumu Sam! Sekudung rindu gigil
dan dendam yang kering mendekam di labirin matamu. Ingatlah
waktu engkau pergi ke seberang, memungut nafas amis dari angin selat,
engkau pudarkan kelasah tuan kelasi tua yang resah dan lupa jalan pulang
engkau beraikan berita si anak rantau yang dibawa untung perasaiannya.
Sam! kibas ratap pilu bansi yang terhempas semakin pasi tergelepar
Di antara bongkah kapal bolotu, Jepun, Bugis, Tumasik dan Portugis
menyangkutkan jangkar berkaratnya rapat-rapat di dasar buih muara.
Kemanakah si engku muda itu?entahlah, semuanya telah habis rupa-rupa
seperti jejak Pala, Kopra, Cengkeh dan Kopi dari Padangsche Bovenlanden
yang tiba-tiba tersangkut pukat para lanun-lanun itu, dari mana mereka?
Amisterdam, Rotterdam, mereka memakai baju nona-nona bercorakkan tulip
berjalan manis atau duduk di kelas loge, sebelum Gambar Hidoep diputar
Apenbergh kemarau yang dihempaskan hujan nan lengang, bacin
di Pasar Gedang selepas petang di permulaan tahun naga
Samsulbahri!
Ia tepis kepak camar laut di antara rumah jaga di Muara, berderap sahut
pada pucatnya riak Arau, ringkik kuda tambang meratap kurus, meletus
atau bunyi petasan dan aroma hasap hio di permulaan tahun cina itu
tidak juga mempertegas semuanya, larut malam lamat- lamat, sansai jua
tak tampak wajahmu Sam? Ia kembali mencari sekeping bonanza itu
bersulamkan renda Silungkang dalam sapu tangan merah yang engku berikan dulu,
sebelum cerobong kapal besi maskapai menguapkan asap memupuskan wajahmu
di sinikah rendevus itu? Di pulau aie ini, di antara luruh gemeretak roda lokomotif
atau mungkin di tempat berlabuhnya kapal api kecil, tongkang uap lupa haluan
berlayar ke Terusan, Tiku, Air Bangis, Barus sampai ke utara Banda, Kota Raja
tapi tak tampak jua, kemana kamu Samsul? Hilangkah dibawa lanun itu?
Sesungging senyummu pias selepas sauh berderam-deram dilamun ombak
Dia lalu bergurau “Buat apa ada pertemuan itu sam?” Jika semuanya tak sampai
jika semuanya membawa asap dari kepulan awan-awan terlerai latas seketika
lalu merisaukan wajahmu seperti senja anulir semakin sembraut.
Kemana engku muda berlalu? Memutar haluan? Jawablah Sam!
Perempuan berkepang itu begegas, membuat teluk di ranum pipinya
Pelan dan lamat semuanya temeram dalam lapuk redup angin lalu,
Siti, oh Siti tersahut jua nama itu, di antara riak Arau yang semakin langis.
Pasaman, 13 September 2011
Bansi= alat music tradisional minang
Bolotu (kapal layar dari Sulawesi Utara)
Pulau aie (pulau air) (daerah Padang Lama/Kota Tua)
Apenbergh (bukit kera, nama lain yang diberikan Belanda untuk Gunung Padang)
Padangsche Bovenlanden (nama wilayah dataran tinggi Minangkabau pada masa kolonial)
Kelas Loge (kelas tempat duduk di gedung bioskop khusus bagi bangsa Eropa tahun 1911 di Padang)
SI PADANG, OH SI PADANG (RAPSODI ZAMAN)
Engku muda!
Jalan ini, jalan tidak bertapak engku! Sebelah utara di rel lokomotif tua pingiran muara
engku berjalan sendiri menjemput senyum gadis cina, yang diapit hasap hio di kelenteng
karcis kelas II seharga ƒ 0,5 (gulden) masih engku pegang sebab pertunjukan Toneel tidak jadi
Orang-orang membiarkan mukanya terendap dalam lenguh si kuda bendi di pasar Kuranji
dan nama engku tercatat dalam roman itu “Si pelerai kasih” itulah kabar angin yang tersiar
Malam minggu selepas petang bergerimis di awal Desember 1921, kita berjanji di sini,
Aku mengenakan kebaya, sedang engku mengenakan peci dan sarung tenun dari Samarinda
Di tangan masih hangat berita di Pertja Barat, koran sore yang remuk aku lipat. Engku datang
Seperti gerak lokomotif mengangkut karang putih berdenyut-denyut darah dalam jantungku
Emmahaven nan bacin, dermaga Gaung sisa-sisa kantuk tersemat di ceruk matamu engku.
Dan kita berlalu, memikir negeri, mengukir asma azan di dada masing-masing.
Uda
Jalan ini, jalan tidak bertapak uda! Masing ingatkah kita bersepeda melintasi gardu Muara
Malam minggu selepas petang bergerimis di awal Desember 1973, kita berjanji di sini,
Aku mengenakan rok dan blues sedang uda, levis cut bray, kemeja ketat dan kriting kribo
Ke Gunung Padang kita, ke Gunung Padang, menjenguk rindu pada ujung-ujung buih lautan
Kita kunyah gulali, kita kuliti kacang abuih, dan lidah kita berdecak-decak, kencan pertama
Denyut kota ini semakin lenguh di antara lagu-lagu gamad,mengalir seperti terlerai dari zaman
Sayang!
Malam minggu selepas petang bergerimis di awal Desember 2005, kita berjanji di sini
Di jalan damar, sore yang ribut terkantuk, bau amis laut berganti dengan seduh kopi pahit,
Mesin-mesin ketik tua kejar-mengejar dari ruang redaksi, Haluan mencatat “Generasi Sesak”
Lamat lagu gamat, suara azan semakin jauh digilas lalu lintas sibuk, etalase, bilboar, rapun
Dan angin lasi terantuk, di losmen, gincu tebal dan dentang ombak puruih teramat nyinyir,
dan kita berlalu seperti lagi sedih, si padang oh si padang, lalu orang-orang berteriak “Tsunami”
Honey!
Jalan ini jalan tidak bertapak sayang! Masih ingat? kita larut dalam desak payung-payung Taplau
gue mengenakan tank top biru muda, levis potong paha, sedang elo keluar ala “Mohawk”modis
dan kita seperti sesak mengukir warna di biru di kanal-kanal teluk tubuhku, di gelinjang betisku
jalan-jalan seperti pentas catwalk, hinggar dentum musik dari angkot, surau-surau lengang, seperti riak yang berteriak-teriak si pongah. Beragam aroma nafas, amis keringat akhirnya berderam labuh di sudut-sudut kota, sumpah serapah dan seseorang menunjuk ke arahku “uwia-uwia mintak gatah” dan kita berlalu tak peduli seperti lagi sedih si padang oh si padang, kian kisut, semakin lagis terantuk di tikam zaman.
Si padang: sebutan orang minang di perantauan
Tabpau (Istilah untuk kawasan di pinggir pantai Padang)
Uda: abang (minang)
Pertja Barat : Koran yang terbit di Padang di masa kolonial
Kacang abuih (kacang rebus)
Emmahaven (sebutan untuk pelabuhan teluk bayur semasa colonial)
janganlah saya ikut serta. Ada di Adi yang jawara. Takut saya.
BalasHapus