Selasa, 27 September 2011

Puisi Ahmad Ijazi H

AHMAD IJAZI H, kelahiran Rengat Riau, 25 Agustus. Pernah menjadi pemenang 1 lomba menulis puisi Kado Untuk Guru 2011, Harapan 1 sayembara menulis puisi nasional Forum Sastra Bumi Pertiwi Jakarta 2011, Favorit 2 lomba menulis puisi Merangkai Cahaya Ramadhan 2011, Pemenang 2 sayembara menulis cerpen nasional Forum Sastra Bumi Pertiwi Jakarta 2011, Pemenang 1 lomba menulis puisi nasional majalah Story kategori umum Jakarta 2010, Pemenang 2 LMCR nasional PT. Rohto Laboratories-Rayakultura Jakarta 2009, Pemenang 3 LMCR nasional PT. Rohto Laboratories-Rayakultura Jakarta 2010, Pemenang 1 lomba cerpen budaya Unilak Pekanbaru 2009, Pemenang 1 lomba cerpen islami Universitas Riau 2008, dll. Novelnya “Metafora dan Alegori” terpilih sebagai pemenang harapan sayembara menulis novel Ganti Award se-Riau 2008. Sejumlah tulisannya dipublikasikan di beberapa media lokal maupun nasional sepeti: Riau Pos, Sumut Pos, Singgalang, Riau Mandiri, Metro Riau, Riau Tribune, Majalah Budaya Sagang, Majalah Sabili, Majalah Annida, Majalah Story, Tabloid Ar-Royyan. Cerpen dan puisinya termuat dalam antologi Negeri Anyaman, (cerpen pilihan Riau Pos 2010), Give Spirit for Indonesia, (antologi puisi Inspira Zone 2011), Dear Love, (Hasfa Publishing 2011), Selaksa Makna Ramadhan (Leutika Prio 2011), Munajat Sesayar Doa, (Leutika Prio 2011), Mencari Wajah Ibu, (LMCR PT. Rohto Labrobatories 2009) Antologi Peraih Anugerah (LMCR PT. Rohto Labrobatories 2010), Tiga Biru Segi, (antologi Puisi Hasfa Publishing 2010), Dua Warna (antologi cerpen dan puisi FLP Riau 2010) dll. Saat ini bekerja sebagai guru di SMP Islam Al-Uswah Pekanbaru. Bergiat di FLP Riau dan komunitas ALINEA Pekanbaru.

RISALAH KERINDUAN DARI TANAH RANTAU

I
Kerinduanku pada ricik singkarak adalah nafas yang kau tanam di paru-paruku, ibu. pada rahim yang subur dan ketuban yang terbelah, nyawa telah meriwayatkan muasalku pada darah yang kau suntikkan di sebongkah daging. pada lembah anai yang beku, serta tulang rusuk yang kau patahkan, kau ajarkan aku menjadi lelaki. sayap di punggung telah kembang. kau lepas aku dengan air mata.

Belajarlah untuk selalu siaga setibanya kau di kampung terasing, nak. kelak di pematang baru yang kau singgahi, derita dan dengki akan menjelma serigala lapar yang mengoyak lambung. jangan sekali palingkan wajahmu dari-Nya, nak. karena di singgasana-Nya-lah segala kepahitan akan bertemu penawarnya.   
    
II
Pada kelok 44 yang membelah maninjau, kutemukan bingkai yang mengingatkanku pada lepuh  di wajah ibu. bukit kembar beraroma daun. pucuk harau yang memancang dinding langit, adalah pusaka yang kau anyam di jemariku saat masa kanak mengakrabkanku pada bilangan uban di kepalamu. tak terasa, seabad usia telah kuncup. sejuta pahit telah tertelan. namun cinta yang kau semai di urat nadi tak pernah gugur dari jantung.

Walau kakimu terkubur di tanah rantau, doa ibu tetap mekar di atas awan. karena pantai air manis tempat kau bermain pasir, adalah nafas  yang akan memanggilmu pulang.

III
Pada runcing batu-batu rantau yang memecah telapak kaki, aku menggigil kesunyian. jam gadang telah mengabarkan gerhana. luka-luka mengapung di tubuh mentawai. dengan sekepal ngilu, kucium aroma tanah kelahiran. tsunami telah usai sembahyang. gempa meriwayatkan kerandamu pada kubur batu.

O ibu, kekal tangisku mencabik tanah makam. 

Pekanbaru, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar