Kamis, 29 September 2011

Puisi Aksan Taqwin

AKSAN TAQWIN EMBE, terlahir di kota soto; Lamongan 18 Maret 1989. Mahasiswa Universitas PGRI Ronggolawe Tuban ini memiliki aktivitas menulis yang cukup. Jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia telah ia ambil sebagai pelengkap bakat, jadi tak heran berbagai tulisannya telah dimuat di media cetak.

ANTARA TISU DAN SAPU TANGAN

: siti nurbaya

Kumendengar tangis peluhmu. Cinta yang ditenggelamkan di danau keruh. Hitam gelap dan bau busuk yang sangat menyengat. Serasa ingin muntah menusuk hidungku seakan ingin muntah dalam kepiluhan. Aku menjelma menjadi tisu, mengusap butiran Kristal kesedihanmu,

Tak perlu lagi kau bersenggama dengan cairan Kristal yang terlahir dari matamu dan kini menjadi bunga-bunga bangkai tanpa mahkota. Yang kini mengalir tanpa tujuan menjadi kesaksian sejarah cinta. Cinta cerita using.

Tak perlu, kau tak perlu terkantung atas harapan. Cintamu kini terkutuk menjadi tisu. Iya, cinta kita.
:yaitu AKU
Dan kini telah datang sapu tangan yang lebih tajam memberangas cinta itu. Senyummu menjadi bantal dalam setiap tidurku, abadi.

Ruang damai-sanggar, 25 agustus 2011

SEBUT SAJA AKU MALIN

Aku terlahir di atas tanah tak beraspal.
Gelap, menghitam dan sunyi menyalak.
Memecahkan gelembung darah hitam
Saat itu; masih tercium amis darah dan lendir rahim ibuku
Sebut saja Malin, itu namaku.
Akar kemiskinan berserabut dalam lubang peristirahatan

Setiap temaram terpancar menelusup di sela-sela pori kulit
Terlantunlah sebuah nyanyian yang berubah menjadi rembulan
Hingga kembang-kembang itu mekar dan mewangi dalam mimpi
Cinta bening menggerimisi hati
Harapan kental; menjadi manusia merunduk dan sebagai penerang untuk semua ruh
Membiarkan cahaya yang terserap pada jiwa

Jika aku bisa menculik malam
Pelangi akan kutumpahkan agar tertata rata rapi
Ruh-ruh itu hadir kepadaku; hadir mengunyah rembulan
Di atas tanah tak beraspal itu
Aku tersenyum di depan mata-mata yang merekah
Saat itu, ruh-ruh hadir bersama pilau melintasi semesta

            “Bagiku, kau adalah dammar, anakku. Berisikan api yang berkobar melintasi jiwaku. Berenang di hatiku, berlayar menyebar dalam darahku. Kemarin, yang kulihat kau seperti kuncup. Dan sekarang kau sudah merekah menjadi bunga. Kau sudah mewangi, aku yakin kau sudah mampu kapan saatnyamenebar kewangianmu itudan dimana kau harus menebarnya.kau penentu hidupmu. Berjalanlah selaksa api dalam dammar yang mengikuti sumbu hingga sampailah tujuan. Kemarilah…kan kubasuh kau dengan darahku. Minumlah keringatku. Kau tahu kenapa? Agar sugestimu melajur kepadaku, kuberikan sepotong kaki ini kepadamu. Karena ini syurga.”

Dalam sunyi-sunyi pilau
Member telaga damai buatku
Kebahagiaan menelusup rongga hidup
Menemukan syurga di bawah kaki ibu
Aku dimiliki tulang rusuk yang sangat utuh, “kekuasaan kini telah mendarah daging buatku”

Kuasingkan kaki ibuku di bawah gladak perahu
Menyimpan dan menutup rapat
:jika perlu akan kubuang di tengah lautan, namun nuraniku masilah tertata
Membiarkan kunang-kunang mengerumuninya.
Menggerogoti, kuanggap sudah MATI—aku malu atas kekuasaan

Aku mengungsi dari kenangan masa
Sebab tak akan kubiarkan mereka tahu
:kalau dia Ibuku.
Kuleburkan cinta yang mendarah daging
Dan mengangggap Dia bau kencing
Masa keluh pilih kelabu

Terlahir sabda menggelegarkan semesta
Meludahkan liur yang mendarah daging
Memutuskan benang rahim
Melenyapkan malam dengan suara lantang bagai lolongan anjing dengan mata yang menyalak penuh dendam dan kebencian
Aku mampu; hingga aku menjadi batu.

Ruang damai, 25 agustus 2011. 01:13 Wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar