Selasa, 27 September 2011

Puisi Andi Markoni

ANDI MARKONI, lahir di Pasaman, 25 Juni 1990. Bagian dari keluarga teater Imam Bonjol Padang. Masih menduduki smester tiga di Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahkwalu as-Syakhsiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Motto hidup “teruslah melangkah meski di depan tidak ada cahaya, karena kegelapan adalah pencaharian”.

TERSESAT MENCARI KOTA

Bermula ku buka sepasang sepatu
Melihat dua benda komunikasi tergeletak di sebuah taman
Entah milik siapa.                                     
Ku ambil, dan melarikan diri            
Karna takut ketahuan orang sekitar.                   

Aku tersesat di gang-gang
Persimpangan jalan
 terpeleset sampai kerimba rimba
Terbentur di bukit buntu.
Kulihat muda mudi bermabok mabokan
Hingga aku lupa jalan kekota.

Aku terus berjalan. tanpa alas kaki
Telapak kaki yang kian kandas di tusuk duri
Lalu, Bersua di sebuah kampung kubu yang sudah berpakaian.
Yang kata bunda tidak boleh mencaci, menghina kaumnya.
 Dan  memberi salam di setiap  mereka
Sambil bertanya tanya.
Dimana jalan kekota ?

Aku Terus berjalan
Dengan langkah terpahat baja
Keringat asin menyelimuti badan,
Dari panasnya musim.  dan
Bertemu sekelompok kampung cina.
Ku beli sandal disana
Sambil bertanya tanya
Di mana jalan kekota ?

Tak ada yang mau mengantar
Hanya menunjukkan arah jalan kekota dengan tangannya.

Senja makin dekat
Hujan mengiringi setiap langkah
Ku tahu kawan ku tlah menunggu Di kota itu.
Heran ! tak ada pesan darinya,
Sediakah dia menunggu tanpa ada kabar dariku.

seorang anak kecil keturunan cina
yang masih menduduki bangku Sekolah Dasar
bersedia mengantarku kekota,
dengan perjanjian aku akan mengantarkan
kembali ke rumahnya.
Tapi, kenapa harus orang cina’ !
Dan dia juga masih kecil tempatku bercerita tentang kota.

Padang, 23 september 2011

AIRMATA PENCUCI MATA

Sebelum pergi ibu pesankan,
Bila terbangun dari ketertiduran.
Sarapan, dan memandikan lah diri
Di sumur sebelah rumah gadang.
Bila sumur milik minang mati.
Maka basuh mata dengan air mata.

Tidak hanya laut dan hujan saja
Air mata pun tergenang
Di pusara pusara kota .

Seperti adat, yang di
Ibaratkan malin menelan air mata ibunya kelaut
karna air mata tak semahal kapal asingnya.
Nur baya yang  memikul tangis ibunda
 Karna mati tak semahal air mata

Bukan kah membunuh dan bunuh diri itu adalah dosa.
Kenapa masih banyak yang mati di negri ini.
Di gerobongan jalan sudah tertulis
“ku jaga dan ku bela “

Kita tlah membunuhnya !

23 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar