Rabu, 28 September 2011

Puisi Asmaul Husna

ASMAUL HUSNA, lahir di Bukittinggi, 30 Agustus 1991. Tercatat sebagai mahasiswi semester lima Fakultas Ushuluddin Jurusan Program Khusus Tafsir Hadist di IAIN Imam Bonjol Padang. Saat ini aktif bergiat di FLP (Forum Lingkar Pena) dan paduan suara kampus. Dari masa kanak-kanak ia telah aktif berkecimpung diajang perlombaan membaca dan apresiasi puisi tingkat kota, kabupaten, dan provinsi. Sejumlah prestasi diraihnya.

MERNA DAN ALUNG SI BURUNG GEREJA

Ini adalah subuh yang dingin dan lembab. Harum bunga sedap malam masih tercium disepanjang jalan. Terlihat ayam jago yang gagah siap berkukuk di antara dedaunan yang berembun. Merna Si burung gereja ingin mengajari anaknya tentang lingkungan sekitar.
Pagi buta Merna sudah mengajak Alung, anaknya, terbang ke sebuah perumahan di kota Padang. Mereka disambut sekumpulan orang berkain putih dan berjalan beriringan. Ada yang putih bersih, adapula yang putih kusam. Dengan kepakan sayap Alung yang masih lunglai ia bertanya.
“Siapa itu, mak?”
“Mereka adalah orang tua dan remaja yang beriringan ke surau, shalat berjamaah, mendengarkan ceramah, dan mengaji. Alif Laam Mim.”

Kemudian matahari mulai mengintip. Ia tak pernah terlambat barang sedetikpun. Ini adalah pagi yang cerah. Banyak burung-burung gereja yang baru bangun hendak mencari makan atau sekedar bernyanyi menemani langkah pejalan kaki. Merna sekarang mengajak  Alung melihat keramaian Pasar Raya.
“Siapa itu, mak?” Ia menunjuk ke arah seorang wanita renta yang berjalan maju-mundur.
“Itu seorang nenek-nenek yang mencoba menyeberang jalan. Tapi tak seorangpun yang membantu.”
“Itu, siapa itu, mak?” Ia menunjuk ke arah seorang pemuda yang menjepitkan jemarinya di tas pejalan kaki.
“Itu seorang pemuda yang mencoba mencari keberuntungannnya ditengah perut yang kosong. Tapi sayang, ia babak belur dihajar masa.”
“Itu, siapa itu, mak?” Sekarang ia menunjuk ke arah wanita kepala empat dengan riasan tebal dan gincu merah di bibirnya. Kelihatan seperti sedang menyapa mesra setiap laki-laki yang lewat atau sedang menunggu seorang tamu. Merna langsung saja menutup mata Alung dengan kepakan sayap dan berkata.
“Itu, itu, dia sedang menjajakan sesuatu dengan mengharap imbalan uang lima ribu. Ah, entahlah!  Betapa murah hidup ini ia buat!!”
“Itu, siapa itu, mak?”
“Siapa itu, mak?”
“Siapa itu, mak?” Terlalu banyak pertanyaan dari Alung, anaknya. Ia menyeret Alung dari keramaian Pasar Raya.
“Matahari sudah naik, nak. Mari kita pulang. Sudah cukup pelajaran untuk mu hari ini. Besok kita sambung lagi.”

Ini adalah hari yang baru. Tapi matahari tetap saja matahari yang kemarin. Sekarang mereka hanya bertengger didahan kayu dekat sarang. Alung memulai pertanyaan pertamanya.
“Mak, siapa orang dengan kayu panjang itu, mak?”
“Tarrr!!” Suara muntahan peluru senapan angin terlambat untuk Merna sadari. Ia benar-benar terlambat. Alung hanya bisa melihat amaknya jatuh dan dipungut oleh tangan yang keriput. Sepertinya itu pelajaran terakhir untuk Alung di hari yang masih sepagi ini.

Padang, 24 September 2011

MAAF JIKA HARI INI ENGKAU KUTANGISI

Padang, kota ku
maaf jika hari ini engkau kutangisi
maaf jika hari ini langitmu kuubah kelabu
maaf jika kau kebasahan air mata ku
air mata ku
air mata maaf pada mu

Padang, kota ku
masih pekat dalam ingatan ketika kita sama-sama terperanjat dan menjerit sore itu
goncangan dahsyat percepat degupan jantung
ia berdetak terburu-buru
tawa menjelma tangis
orang-orang berlari ke segala arah di jalanan yang retak
gedung-gedung kebakaran
asap mengepul kelangit
air se ember dua ember tak akan memadamkan si jago merah yang marah
anak-anak sebagian terlepas dari ketiak para ibu
anak-anak sebagian tenggelam dalam dekapan dada ibu
anak-anak dan orang dewasa sebagian terhimpit dan terjepit reruntuhan bangunan
ribuan anak-anak dan orang dewasa tewas seketika kala itu

Padang, kota ku
kulihat wajah mu penuh dengan lebam yang membiru
tubuh mu dipenuhi luka menganga di sana-sini
mengalirkan darah dari tubuh yang telah lumpuh
lalu disambut hujan seakan mewakili tangisan semua orang
membawa campuran darah dan air mata ke laut
dan diubah jadi buih

Padang, kota ku
seiring pergantian malam dan siang
sembuh dan keringlah luka mu
bangkit dan cobalah berdiri di atas bekas luka itu
karena jalanan telah bersih disapu
biarlah bekas luka itu menjadi cerita kepada Fulan dan Fulan si anak cucu

Padang, Pulau Kapuk, 22 September 2011

1 komentar:

  1. saya suka ide cerita nya ..bgtu juga dg puisinya..sesuatu yg bener2 kita alami akan lebih gampang di pahami n di rasakan org lain ketika itu kita tuangkan dalam bentuk puisi..bravo dear nanit

    BalasHapus