Rabu, 21 September 2011

Puisi Dodi Prananda

DODI PRANANDA, lahir di Padang 16 Oktober 1993. Menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Beberapa karya cerpen, puisi dan artikelnya pernah dimuat di Singgalang, Padang Ekspres, Haluan, P’Mails, Jurnal Bogor, dan media remaja terbitan Jakarta seperti Majalah Aneka Yess, Majalah Story, kaWanku, Girls, Tabloid Keren Beken, Gaul, hingga Tabloid G2. Pernah menjadi Juara I Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) Tingkat Nasional PT Rohto Laboratories 2010, Juara I Lomba Menulis Cerpen Genta Universitas Andalas 2010, Juara III Lomba Penulisan Cerpen Berlatar Budaya Minangkabau dalam Pekan Budaya Sumatra Barat 2009, 20 Cerpen Terbaik Pilihan Majalah Aneka Yess 2009, Pemenang Harapan Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) Tingkat Nasional pada tahun 2009 dan 20 Pemenang Harapan Lomba Menulis Cerpen Forum Sastra Bumi Pertiwi 2011. Sedangkan untuk beberapa perlombaan menulis puisi ia pernah menjadi juara seperti Juara II Lomba Menulis Puisi Cinta Tingkat Nasional yang diselenggarakan Majalah kaWanku 2009, Pemenang Lomba Menulis Puisi Boys Before Flower Tabloid Gaul 2010 dan Juara II Lomba Cipta dan Baca Puisi Festival Lomba Seni Siswa; Seleksi Provinsi di Rumah Puisi Taufiq Ismail.
Cerpennya berjudul Perempuan Simpang yang terpilih sebagai Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Remaja (LCMR) 2010 Tingkat Nasional, termaktub dalam buku Sehadapan (Rayakultura Press, 2010) Antologi Peraih Lip Ice Selsun Golden Award 2010. Cerpennya Hantu Rumah Tua, masuk dalam Antologi 15 Cerpen Anak Terbaik Pilihan Majalah Girls berjudul Misteri Tas Merah Jambu (Kompas Gramedia, 2010) dan cerpennya Nostalgia Lapau termuat dalam antologi Negeri Kesuda (Kedai Kopi Publishing, 2010), antologi pemenang Lomba Menulis Cerpen IAIN Imam Bonjol Tingkat Nasional tahun 2010.

MENULIS KANGEN; PADANG

dulu sekali, waktu jalan belakang rumah masih belum beraspal
ayah melewati parak rumbio di Taluak Nibuang
melintasi Padang yang penuh Nipah di belakang rumah

aku masih dalam rahim Ibu, tahun 1993
Oktober pagi, aku mengendus wangi kota Padang pertama kali
mencium bau nipah, wangi pandan di belakang rumah
belakang rumah adalah nostalgia tentang Padang berhutan
sungai-sungai masih dangkal di di Simpang Muaro dan Simpang Pulai
jalanan masih rimba di Balantuang, bocah-bocah kecil mandi hujan di sepanjang jalan
ketika itu, Taluak Nibuang adalah rerimbun kenangan yang mengakar
ke dalam mimpi

aku diceritakan tentang Kakek muda yang menghabiskan bahagia
dalam petualangan nipah hingga menambang pasir di belakang rumah
Nenek adalah nostalgia kue singgang dan daun baharu
yang membakar mimpinya di tungku jarang jadi abu
yang mengendus wangi mimpi di kegersangan rimba
Taluak Nibuang yang masih garang di belakang rumah

ada kisah tentang Paman yang menganyam rindu di pesisir
Mencicipi masa muda di keasinan kehidupan
memecah kerinduan pada Ibunda di kedalaman batu karang Pantai Padang
anaknya adalah ombak-ombak yang berkejaran
istrinya adalah petualangan bayang-bayang
yang melintasi kerlap-kerlip di kejauahan perkampungan Cina
yang kala itu masih sepi dan kering kerontang
masih gersang, belum benderang dan belum bernyawa

sementara itu, balai-balai masih sepi
tahun 1990, kota Padang mulai tumbuh bersama imajinasi tubuhku
aku menetek pada kehidupan di Simpang Muara Penjalinan
membaca kehidupan yang kadang hangat, kadang dingin
mengendus bau wangi dan amis kehidupan para pemukat ikan
di pantai belakang rumah, kehidupan para petani yang membibit mimpi
di Simpang Pulai, ranah kecil tempat Kakek dilahirkan dan dimakamkan

kota Padang mulai menjalar ke dalam tubuhku
meski tahun 2000-an, aku telah mencium bau kehidupan yang aneka berbau
ketika aku menyadari aku adalah keriuhan Balantuang
yang kini adalah jalan panjang Sudirman, Pasar Raya Padang
saban pagi mengenakan putih abu-abu hingga pada tahun 2009, pecah kehangatan itu
dalam kegersangan lindu, keamisan rindu, Oh Ibu

waktu itu ketika ketipak-ketipuk naik Bendi di Taman Melati
mengenang aku kecil menghabiskan Minggu ke Pantai Padang yang kini sendiri
setelah itu, aku pun menjadi sendiri dalam tualang hidup
belajar mengenang nostalgia panjang, tentang ayah, tentang ibu
entah pada tahun berapa, karena ingatan tertinggal di almanak
kelahiran yang indah, ketika aku menjadi cahaya di sepanjang
Jembatan Siti Nurbaya, tempat ayah bersua Ibu, dulu..

(Depok, 070911)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar