Sabtu, 17 September 2011

Puisi Endang Supriadi

ENDANG SUPRIADI, lahir di Bogor 1 Agustus 1960. Menulis puisi dan cerpen secara otodidak sejak tahun 1983. Karya-karyanya dimuat dipelbagai media cetak pusat dan daerah seperti, Suara Karya, Republika, Merdeka, Media Indonesia, Pelita, Berita Buana, Berita Yudha, Swadesi, Pikiran Rakyat, Nova, Lampung Post, Anita Cemerlang, HAI, Nona, Singgalang, Majalah Sastra Kolong, Majalah Puisi Diksi, Buletin Kreatif HP3N, Trans Sumatera, Bentara Budaya Kompas, Horison, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Jurnal Nasional. Sebagai juara I Lomba Cipta Puisi SPSI Tingkat Nasional (1992), Juara Harapan I Lomba Cipta Puisi Hutan Eboni Tingkat Nasional (1994), Sepuluh Terbaik Lomba Cipta Puisi Batu Beramal I (1994), Juara I Lomba Cipta Puisi Batu Beramal II (1995), Sepuluh Terbaik Lomba Cipta Puisi Dewan Kesenian Mojokerto (1998), Nominasi Lomba Cipta Puisi Perdamaian ‘Art and Peace’ Bali (1999), Nominasi Lomba Cipta Puisi Borobudur Award (2000), Pemenang Lomba Cipta Puisi Seratus Tahun Bung Hatta (2002), Pemenang Lomba Cipta Puisi Seratus Tahun Bung Karno (2000), Juara III Lomba Cipta Puisi Krakatau Award (2002), masuk 15 Nominasi Lomba Cipta Puisi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (2006). Beberapa puisinya terkumpul dalam antologi puisi Sembilan Penyair Menatap Publik, Batu Beramal I dan II, Kebangkitan Nusantara I dan II, Cerita dari Hutan Bakau, Nuansa Hijau, Getar, Sahayun, Dari Bumi Lada, Songket I, Trotoar, Mimbar Penyair Abad 21, Kaki Langit Kata-kata, Jakarta Jangan Lagi (selipan jurnal kolong), Antologi Puisi Indonesia (KSI 1997), Antologi Puisi Borobudur Award, Resonansi Indonesia (antologi puisi dwibahasa Cina-Indonesia 2000), Datang dari Masa Depan, Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001, Antologi Puisi Bentara Kompas, editor Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta Dalam Puisi Mutakhir, Nyanyian Integrasi Bangsa (2001) Lampung Kenangan-Antologi Puisi Krakatau Award 2002, Antologi Puisi Malam Bulan, 2002, Bung Hatta dalam Puisi (2003), Bisikan Kota, Teriakan Kota, Kota Yang Bernama dan Tak Bernama-Dewan Kesenian Jakarta, 2003, Puisi Tak Pernah Pergi 2003-Anotologi Puisi Bentara Kompas, editor Sutardji Calzoum Bachri, Bumi Ini Adalah Kita Jua, Antologi Puisi Kado Buat: SBY (2005), dan Jogya 5,9 Skala Richter (2006), Dermaga Kota Tua (puisi-puisi pesisir, bersama Slamet Rahardjo Rais, Penerbit Perpustakaan Umum Kota Madya JAKUT, 2007), Antologi Penyair Depok, Gong Bolong (2008). Puisi Tunggalnya: Tontonan Dalam Jam. Lima buah cerpennya dijadikan scenario audiovisual untuk sinetron televisi: Lelaki itu Bernama Oding, Sosok Bertopeng, Protes, Sumirah dan Dendam.
Diundang pada Temu Penyair se-Indonesia tahun 1994 dan 1996 di Batu Malang, diundang pada Temu Penyair Sumatera, Jawa dan bali oleh Dewan Kesenian Lampung (1996), sebagai peserta Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki (1996), sebagai peserta pada Pertemuan Sastrawan Nasional ke IX dan Pertemuan Satrawan Indonesia di Kayutanam Sumatera Barat (1997), diundang pada Pertemuan Penyair oleh Dewan Kesenian Mojokerto (1998), dan salah satu juri dalam Lomba Cipta Puisi Anti Kekerasan KSI Award (2001). Sebagai perserta pada acara Sastra Kota DKJ (2003), sebagai peserta MPU ke-1 di Anyer (2004), sebagai perserta MPU ke-2 di Bali (2006), dan diundang sebagai peserta Lampung Art’s Festival (2007) oleh Dewan Kesenian Lampung. Salah satu Panitia Kongres Komunitas Sastra Indonesia ke-1 (2008) di Kudus, Jawa Tengah. Sebagai peserta MPU ke-3 di Lembang-Bandung (2008), sebagai peserta MPU ke-4 di Solo (2009). Kini tinggal di Citayam, Depok. Alamat Surat: Gedung AKA Jln. Bangka Raya No. 2 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12720.

RANAH MINANG

Tak cukup hanya sebuah puisi untuk memuji eloknya Ranah Minang
Atau menyimpan sejarahnya ke dalam sejuta buku.
seperti senyummu, Uni, Padang adalah selaksa ngarai yang terbentang
dari timur ke barat. Kembang tanjung yang harum mengulum

Di Kayu Tanam, awal kakiku menjejak. Kabut merajut kalut
tapi dari ujung-ujung jemarimu kehangatan menjalar menyapu
gigilku. Di sini, pagi seperti malas beranjak ke siang. Kau sodori aku
irisan singkong bercabai. Manis sekali cabai Minang, Uni!

Tanganmu melambai di Lembah Anai. Anak-anak dusun
menjual tebu iris di ujung bambu. Sejenak hati tergiris,
melihat wajah-wajah lugu minta aku tak ragu membeli tebu
(tebu begitu tajam kulitnya, begitu pahit rasa air tebunya)

Geliat bulan di musim gerimis menggeliat juga di matamu
kau ajak aku ke Bukit Tinggi, mengurai rindu di Danau Atas
Tatap menatap, jemari hati merajut cinta dalam gelang udara
Ah, si Buyung mengintip kita dari balik jemarinya!

Jam Gadang menjulang. Aku masuk ke dalam.  Di toilet
banyak coretan tangan nakal. Kenapa kau selalu melihat jarum jam
seusai kencing di dalamnya? Tanyamu. Biar kau ingat, jam berapa saja
aku kencing di sini! Kataku. Kau menimpukku dengan batu!

Matahari terperangkap di Akar Berayun. Air terjun
menyimpan garis-garis sejarah. Ke mana engkau pulang uni?
Negeri ini menyimpan Empatpuluh Kota, Kelok Sembilan
kapan kau ajak aku bersanding di Rumah Gadang?

Kau tak jawab karena tahu aku pendatang yang cuma bermodal cakap
esoknya kau hanya menyodori rempah-rempah kehidupan. Adat istiadat
yang harus kuhafal dan kujalani. Tapi aku mencintaimu, Uni. Bagaimana
jika kau yang kubawa ke Jakarta. Kita buka warung nasi Padang di sana!

Depok, 2011

PANTUN LIMA KAKI

Malin Kundang legenda Padang
aku datang bukan pecundang
sekadar lempar kata ‘tuk dapat jawab
tapi kau menghilang tanpa sebab

Aku di Singkarak
kau di Padang Panjang
siapa mengatur jarak
sampai tujuan bersilang?

Singkarak masih beriak
wajahmu nampak kanak
merindu emak merindu bapak
ragu berlari ragu menolak

Aku cari kau di Payakumbuh
tapi kautunggu aku di Danau Maninjau
bak pohon jagung bertangkai gabah
aku merindu, kau mengingau!

Singkarak danau ikan tawar
beli baju di Bukit Tinggi
hati siapa yang tak memar
merajut mahligai kusut tali temali.

Depok, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar