Senin, 26 September 2011

Puisi Frans Ekodhanto Purba

FRANS EKODHANTO PURBA, adalah anak pertama dari tiga bersaudara, lahir dan dibesarkan di Sumatera Utara, menuntut ilmu sastera di bangku Universitas Pendidikan Indonesia (UPI Bandung). Meskipun sejak kecil dan semasa SMA tak pernah memimpikan menjadi penyair, tapi syair/sajak mengajarkan bahasa kerinduan, perjuangan serta mengantarkannya pada kehidupan paling hidup. Untuk itulah, setamatnya dari kuliah, Frans atau Eko atau Ekodhanto kembali menegaskan keinginannya menjadi wartawan, menetapkan jalan hidupnya menjadi sastrawan (penyair). Beberapa karyanya sempat termaktub di media massa lokal maupun nasional, seperti Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Majalah Gong, Radar Banten, Mitra Dialog Cirebon, dan beberapa media online lainnya. Sajaknya juga termaktub dalam beberapa antologi, seperti antologi puisi, Berjalan Ke Utara, Akulah Musi (PPN V Palembang) dan beberapa antologi puisi lainnya. Saat ini bekerja sebagai wartawan Seni dan Budaya media massa nasional. Tinggal di Jakarta. 

DI NEGERI BATANG TABIK

di negeri batang tabik
dari sumatera sebelah barat jantungmu
kita pernah memiara rahasia
merapal jarak berjalan mendaki masa depan
adalah tujuan utama tak peduli siang malam
selain segera menuntaskan pencarian

konon, mak isun kayo pun melakukan serupa
bermula jadi juragan bendi sampai menjadi tuan beruk
bendi demi bendi dikumpulkan rajin
beruk demi beruk diterjemahkan tekun
bukan menyamar menjadi malin kundang
bukan pula mencoba menjadi raja kecil
tak ada lain hanyalah menabung kehidupan

walau hidup rangkum menyuratkan silsilah
pada sebaris alamat selurus kalimat
tapi kita adalah musim berbeda
berjalan menuju mimpinya sendiri
mungkin kini, mungkin esok
pasti kembali pada rahim yang sama
rahim yang pernah memiara kata
menjadi kita yang puisi

sejarak lagi menuju batang tabik, gegaslah
perjalanan tak hanya menawarkan pedih
juga merayu nafsu melempar tetubuh
pada sungai-sungai perih
sementara airmata tetap dipasang
luka menjadi taruhannya

dengan sedenyut keyakinan
sambil menghafal arah nafas
lagi kubaca detak-detik kecemasan 
barangkali ada nasib senantiasa mewahyukan kita
dalam ketekunan padang yang lapang padang yang bukan pedang
padang yang merawat perjalanan dalam kearifan doa-doa

Kereta subuh, Agustus 2011

EMPAT WAJAH PADANG

(1)
tidakkah kau tahu, padang kian tipis
sedang adam-hawa semakin terperangah
menengok keangkuhan nafsu memenjara diri menguasai hati
kini langit telah matang  bulan-bintang juga pulang
mengapa tak kau buka saja pintu kehidupan
kalau tak tutup saja menguncinya segenap pasrah
agar tak lagi ada bujuk rayu masuk menawar-nawar musim

sementara dari seberang masa lalu
lagi sepasang gerimis tak jenuh-jenuh memanggil namamu
selayaknya nelayan tak lelah-lelah membaca arah angin
menjaring usia demi hidup meski hari demi perih
tak henti-henti memasung walau gigil demi sunyi
tak sudah-sudah menjebak dalam jarak yang retak

(2)
sebelum kita tak lagi saling memercayai
curiga menguasai seluruh urat nadi
sama-sama meninggalkan kampung halaman sendiri demi sekerat mimpi
mimpi yang tak pernah ditandai apalagi dikenali
senantiasa menyekap rahasia dalam palung keresahan
sedang kita saling melupa benar-benar tak mengenal muka apalagi nama

 (3)
tapi ketahuilah pantai tiku, pariaman dan inderapura titipan raja pagaruyung
pulau sumatera sebelah barat adalah jarak yang harus dirangkum
dalam terjemahan perjalanan walau darah taruhannya
sebab airmata tak mungkin menjelma nanah jika dialirkan segenap ikhlas

inilah padangku, padangmu, padang mereka, inilah padang kita
padang yang melahirkan segala makna padang yang mengalirkan segala cerita
merawat nafas sampai menjadi kita
tempat menjahit segala doa
membenamkan luka agar tak jadi air mata 
pulanglah sebelum senja menggenggam jejak
pintu teluk bayur telah terbuka

 (4)
ulang tahun? tak, hari ini tak ada yang berulang tahun
jika kau ingin pulang maka pulanglah peluk cium tanah merah
tanah yang meluapkan bau keringat tanah yang merawat isyarat
meski bayang kerap merasuk nusuk penyesalan sampai likat 

entah berapa padang lagi yang akan krisis
tapi padang tetap setia menunggu
merindu segala pengorbanan untuk masa depan
yang tak sekedar harap

Kereta subuh, September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar