Jumat, 09 September 2011

Puisi Hakimah Rahmah Sari

HAKIMAH RAHMAH SARI, lahir di Saning Bakar, 11 Januari 1994. Nama penanya Chaiy Poenya atau Fantasi Januari. Mahasiswi Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Anak kedua dari Fauzi dan Nefriza. Ia tertarik dengan dunia tulis menulis, beraktivitas menjadi penyair. Lebih seratusan puisi telah ditulisnya dan beberapa puisi sudah dipublikasikan di berbagai koran daerah dan koran elektronik. Buku puisinya yang baru terbit Merangkai Tiram (Leutikaprio, 2011).  Salah satu cerpennya Pulang ke Ranah dimuat dalam Buku Cerpen 25 Penulis Sumatra Barat berjudul Potongan Tangan di Kursi Tuhan (Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta, 2011). Dia juga pernah mengikuti Lomba Menulis Puisi online yang diadakan oleh Minda Media Grup Riau, dengan hasil lima puisi terbaik dari 300 orang peserta. Berdomisili di belakang SD 10 Balai Gadang, Jalan Imam Bonjol No. 1 Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok.

PADANG, PETANG DAN PUISI

(Padang 1)
~tepi laut dan sudut langit

ada yang hilang-tenggelam di langit
sepertinya itu kau, yang rasanya baru kemaren kita bertemu di tepi laut
-yang memberi mimpi buruk pada sendalku yang hanyut-
rupanya kau tidak lagi menjinakkan ombak atau berburu kepiting
tapi membikin semacam perahu putih di langit dengan kepulan asap
hilang-tenggelam, seperti wajahmu

(Padang 2)
            ~jembatan Sitinurbaya

ada yang mencoba meniup balon
balon itu sebesar kepala bocah yang duduk manis di kursi merah
matanya memandang ke depan
ke tempat perahu tertambat pada kayu-kayu itu sambil memakan jagung bakar
tapi, angin juga menghebuskan napasnya
hingga balon itu terbang bersatu dengan angin
kau dan aku pernah di sini, di tempat orang yang meniup balon itu
berjanji dengan mata yang mengarah pada matahari
matahari rasanya ada dua –karena rupamu bercahaya-
jembatan pun rasanya ada dua
-karena akhirnya kau yang di kiri, aku yang di kanan-

(Padang 3)
            ~kampus dan halte

Rinai menjatuhkan semacam kata-kata
tidakkah kau segera berteduh di lorong-lorong
sambil menampung tempiasnya
kemudian menghitung jumlah sajak teruntuk dirimu

laga-laga seakan jadi televisi
kau pun menonton pertunjukkan rinai yang jatuh
sepertinya ia terjatuh dengan terpaksa
lalu katak keluar dari kurungannya, bebas
sebebas burung layang yang melayang-layang menyaksikan pertunjukan yang lain

seingatku, kita bertadarus puisi
berkekasih dengan sajak
yang kian menyeret kita ke dalam arusnya

kedai, secangkir kopi dan sepiring nasi
masuk dengan riang dalam perut kita
kau kenyang, sekarang giliran aku yang lapar

duduk bersama-sama di sini
memperhatikan dan menunggu bus yang entah kapan akan berjalan
asap candu kian membesar, napasku sesak

(Padang 4)
            ~pasar dan selokan

puntung rokok, uang receh, sayur busuk
lalu air ludah, kulit pisang ambon, rambut dan juga segelas keringat
tak lupa juga ada sebagian sopir, polisi, tukang ojek, pedagang, siswa, mahasiswa, tenaga pendidik
masuk dalam arus pasar yang kian memanas
mereka bersenda gurau dengan harga, tahta dan juga wanita

pada akhirnya puntung rokok, ludah, rambut, kulit pisang, sayur busuk, uang receh
berdiam diri dalam selokan, yang lain entah!

(Petang 1)

“Mak, bukankah abak harus kembali?.”
“Kak, bukankah abak harus pulang?.”
“Dek, bukankah abak akan datang?.”
ketiganya hanya diam mematung, angin berhembus
membawa debu-debu mereka yang berterbangan kian kemari
matahari kian terbenam, makin tenggelam

(Petang 2)

sudah lama kau tak menampakkan diri

di terik siang tanggal 30 September itu, kau menghilang
seperti kentut yang terlepas lalu pergi begitu saja

sore 30 September, bumi bergetar
rumah-rumah kacaku memecahkan dirinya
puing-puingku menjatuhkan dirinya
seakan kau, memecahkan dirimu jua
apakah engkau terbenam masuk ke laut
atau kau terbenam masuk ke tanah

dan hujan memintaku, menguburmu dalam catatan
yang berisi data-data orang hilang

(Petang 3)

sehabis langit gelisah
mataku kian memerah
sepertinya awan-awan melata di tanah
entah karena matahari pergi menyusui bumi
kau pun mendesah
karena inilah ujung yang menunjukkan kau di sana

(Puisi)

senja, aku harus berpamit pada hati
hatimu dan juga hatiku

(Padang di suatu petang dalam puisi)

Padang, dalam panas yang kian memanas
kita bertemu, kita bercerita tentang perahu putih di langit
-yang hilang-tenggelam itu-
kemudian petang menjengukmu –karena ia kekasihmu-
lalu kita berjalan kaki menuju Basco
kau memesan cappucino yang rasanya asin
rasa asin, karena lidahmu terkelu melihat mataku yang membiru
karena yang terbayang oleh mu adalah air laut
–karena kau ini pelaut yang kuceritakan hilang itu-
jadinya garam dan hanya garam pintamu
-tapi aku memesan cappucino rasa pedas-
rasa pedas karena lidahku peka saat melihat matamu memerah
yang terbayang olehku hanya darah
karena aku haus akan darah, darah berwarna cerah
lukaku kembali basah, tapi bukan karena kau
karena ada yang sengaja menumpahkan vodka ke tubuhku
kau bangkit karena marah, matamu semakin memerah
aku semakin berdarah karena matamu kian merah
lalu kau menaburkan garam ke tubuhnya
ia melata tuan, bukankah ia ular

sudahlah, kita nikmati saja cappucino rasa istimewa yang kita pesan
karena ini pertemuan kita terakhir saat ini
karena puisi memintaku untuk membunuhmu sejenak
dan Padang di suatu petang dalam puisi pun berakhir

Padang, 10 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar