Senin, 05 September 2011

Puisi Irfan Syariputra

IRFAN SYARIPUTRA, lahir di Jakarta, 13 April 1986. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Menengah ditempuhnya selama 12 tahun di sekolah-sekolah negeri. Masa studinya dilanjutkan di Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia dan lulus di akhir tahun 2008. Di masa perkuliahan inilah selain di kelas, organisasi formal kemahasiswaan juga menjadi tempat mengais ilmunya  dan sempat mengemban amanah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Biologi di periode 2006-2007. Saat ini aktivitasnya berkerja sebagai staff redaksi di salah satu penerbitan di Jakarta dan sebagai salah satu volunteer Komunitas Peta Hijau.

BALIMAU DI JELANG RAMADAN TAHUN KEMARIN

Balimau kita.
Masih ingatkah saat jelang bulan yang membakar tahun kemarin
Mengatupkan tangan untuk memohon kejernihannya
Merengkuh bersama lewat doa
Ingin bersih bening sebening malaikat di kedua pundak
Ingin damai sedamai tanah minang ketika menyambutnya
Ingin ceria karena api neraka niscaya enggan menjilat kita

Dan tentu di Ramadan tahun kemarin
Ramai berbasah saat tetesnya menyentuh epidermis di tiap jarimu
Ramai bersua di pinggiran kolam di bawah dahan beringin tua
Ramai berkontroversi bagi yang berani beropini

Balimaumu.
Bangunkan aku kawan ketika kau mulai membasuh wajahmu
Walaupun di tahun ini kita tidak harus bersama  
Di Lumbuk Minturun, Pasir Jambak, atau Pantai Air Manis
Yang penting rintikan beningnya menyelimutimu
Sampai saatnya surau-surau nagari mengumandangkan takbir fitri

Balimauku.
Hanya ketika menanti Ramadan kemarin
Kubisa percikkan air di teduh wajahmu    
Dan kau mungkin tahu
Aku selalu menunggu saat-saat itu
Saat butiran air berlomba berjatuhan di antara kedua alismu

TENTANG RINDU DI TANAH KENANGAN KITA

Ketika darah ibukota bertemu dengan kelapangan kerbau merah
Mengenalkan kau lebih dekat
Begitu pula kota di mana tangis pertamamu pecah di udara
Padang dengarlah aku datang, aku pandang, aku pinang

Berujung pada nilai cinta yang pernah berbisik di telingaku
Cantiknya lipatan tangkuluakmu
Sampai saatnya guncangan mengoyak ikatannya
melepas perlahan simpul cerita kita
Lembaran ceritanya jadi temaram seperti matamu yang sembab

Getir dan anok
Kata yang akhirnya kita tulis lekat di secarik kertas yang tiba-tiba kusam
Yang tersisa lembut hanya sapaan kota matrilinealmu

Di antara reruntuhannya terselip rindu
Pada Ganting yang selalu menantikan sujud
Pada Adityawarman dengan nilai historis budaya yang bercerita
Bahkan sampai serunya gowesan Tour de Singkarak kala roda-roda itu saling berlomba
Juga pada rumah-rumah bergonjong berasa puncak kejayaan
Di tanah kenangan kita

Coba kau dengarkan aku berbisik di telingamu sesaat saja
Senandung sederhana tentang rinduku yang ramai dengan goresan warna
Hitam sehitam ijuk di atap gadang, putih seputih pasir Pantai Bungus
Merah semerah pipimu yang dahulu malu dan kini bukan lagi milikku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar