Selasa, 27 September 2011

Puisi Karta Kusumah

KARTA KUSUMAH, lahir di Palembang, 31 Agustus. Lelaki keturunan Betawi-Jawa ini besar di Padang. Puisinya pernah beberapa kali di publikasikan di media cetak dan internet. Bergiat di Teater Langkah. Saat ini bekerja di salah satu Boutique Hotel.

CERITA BERGAMBAR PADANG BUAT SI SAYANG

Sayang, sudah sebelas tahun aku tak pulang. Sudah waktunya aku ceritakan apa benar yang membuat aku kerasan. Semakin hari, aku semakin yakin Padang jatuh cinta padaku.
Begitupun sebaliknya. Sekali lagi, beginilah :

/Muara Penjalinan/

Matahari memang terbenam di barat, sayang, sebab itu aku ke sini. Berjarak darimu aku menemukan tempat ini, sesuatu yang sulit kudapat darimu : sebuah tepian pantai dengan matahari terbenam paling nyaman.
Hari itu (hari pertama berjarak denganmu) senja terlambat pulang. Mungkin, ia sengaja menyambutku, dengan oranye malu-malu. Kuharap kau tak cemburu setelah kuberi tahu bahwa Muara penjalinan ialah candu, untuk pertemuan yang kujelang dari jauh.

/Simpang Haru/

Aduh, sayang, kugambarkan tempat ini agar kau dapat membayangkan bagaimana.
Di Simpang Haru, aku mengingatmu, mengingat api yang membakar dada kita, kini kian membatu. Jika jalanan bersimpang masih memisahkan, aku ingin kita membuat jalan melingkar di antara simpang-simpang. Dengan begitu kita masih bisa berpagut jemari tak putus-putus sembari menikmati api yang membakar dada kita telah menjadi tugu. Bagaimana?

/Lubuk Minturun/

Sesejuk apa kau dapat mengecup dahiku? Setinggi apa kau dapat mendaki batanghidungku? Lubuk Minturun mengajarkan pendakian yang sejuk, sayang.
Datanglah dari arah jalan lebar (di sana banyak penjual nasi kapau atau ampera sembri menjajakan kenangan, carilah) menuju pendakian tinggi di basahmu. Laju sungai, kulit manis, dan jalan tanah telah kujelang. Tapi, di puncak segala jarak yang kita bentang kau semakin kusingkan. Sebab, caramu menyejukkan dari ketinggian telah terkalahkan.

/Taman Imam Bonjol/

Masa sekolah dulu, aku pernah ingin membuat sebuah taman. Dengan pohon bunga kertas dan kembang sepatu sebagai pagar. Sebuah kursi rotan panjang kusimpan di bawah beringin besar. Angin sore yang lembab mengusap taman dan mataku yang sembab, masa kasmaran datang berulang-ulang. Tidak, sayang, Taman Imam Bonjol jauh dari yang kau bayangkan. Di taman ini, masa sekolah adalah masa yang canggung, dan pohon besar serta remangnya adalah kesetiaan yang tanggung. Dan aku tak bermaksud mengajakmu ke sini karena alasan yang belum patut kau mengerti.

/Jembatan Siti Nurbaya/

Aku tahu, sayang, bukan aku orang pertama yang menuliskan tentang Jembatan Siti Nurbaya. Tapi, aku berani sombong, pastilah aku orang yang pertama kali menuliskannya untukmu. Butir jagung kuning muda yang dibakar separo masak itu kugigit sembari menghitung berapa rumah yang berkedip di selingkar Gunung Padang, aduh, aku pun terkenang kunang-kunang yang kau kirim saat malamku tak cukup remang untuk sekedar kesepian. Kapal-kapal kecil bersandar, terjangkar, harus kemana lagi aku melabuhkan pulang yang tak sampai? Kelak, akan kutanam sebuah biji jagung di tanah kita dan kubesarkan sebagai jembatan. Sebab, lelaki selalu butuh menyeberang, sayang.

/Tunggul Hitam/

Akhirnya, ke Tunggul Hitam juga aku pulang, sebagaimana sebagian besar orang Padang akan pulang. Di tanah-tanah merah basah itu mereka mencari istirah baru, terpisah dari segala kemengertian. Sebagaimana aku yang perlahan membenamkan sebagian batang badan di hektar-hektar pemakaman. Sungguh, Purwokertoku sayang, aku ingin segera pulang membawakan sekantong kenangan tentang bagaimana rasanya mati di tanah orang.

Batang Agam 5, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar