Rabu, 28 September 2011

Puisi Meiriza Paramita

MEIRIZA PARAMITA, lahir di Sawah Dangka, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 22 Mei 1989. Anak ke 7 dari 9 bersaudara. Masa emas kuliah diisi dengan meramaikan alam jurnalistik di Surat Kabar Kampus Ganto Universitas Negeri Padang. Sekarang menjadi nakhoda perpustakaan Zainuddin Labay El-Yunusi, Perguruan Diniyyah Puteri Padangpanjang. Suka menulis dan ingin menjadi gila menulis. Karya berupa cerpen, puisi dan artikel pernah dimuat Harian Singgalang, majalah Tasbih, dan majalah SABILI. Salah satu cerpennya juga terbit dalam buku cerpen bersama dengan 25 cerpenis Sumatera Barat, Potongan Tangan di Kursi Tuhan (Juli 2011).

TERATAK PENGEMBARA

Di sela-ruah debur gelombang samudra ini, dengarlah sejenak. Telah berlaku sebuah peragaan bertabur sembah, di alun-alun, tamburan sungguh megah. Berkelepak satu-satu berputar dan berteriak tanpa marah. Berkabar tentang negeri para pengembara di tanah pasir tepi laut, menyambut gayung dari orang-orang Tirau jo Rupit.
Lalu bertabuh kembali para peraga tari. Maharaja pengembara bertangan pelita dan para jelata, menggerabah sejarah, tanah pantai ini digelar Padang. Di sana memaut ikan dan menggelar dagang, hidup tiada sembarang. Bertautlah hati-hati dan tempat itu dipenuhi orang berkadim-kadim. Mengisi cinta di selaput hari-hari nan mengembang.
Tambur tiba-tiba menggempur, tarian bergejolak. Separuh penari menggeretang mengayun pedang, separuh lain serupa batang tercerabut dari akar. Para pengembara diikat cemas, tak berdaya, kemelut imperialis.
Lama… lama… dan lama…. Para penari rebah. Lama… lama… dan lama….
Dengarlah sejenak, tali itu terlepas jua. Ketika induk tidak lagi ada, anak induk tidak lagi bersua, di ujung-ujung anak sudah menjadi induk.
Para pengembara tumbuh mengejar langit,  mengintai kecemerlangan. Ranah itu bekerlap kerlip, tak kelu menantang bintang. Demikian, teratak ini seperti tak ada akhir.

TERATAK PENGEMBARA TANPA TARIAN

:Padang kemudian

Anak-anak bintang terlahir
Bersusun-susun, berlapis-lapis
Tanah pantai itu selalu penuh,
Pengejar ilmu, merapal kata menghidupkan suluh
Atau, sekedar bersenda gurau di gunung legenda,
cinta Siti Nurbaya nan mengubit-ngubit.
Atau, menghidu angin Muaro dan Air Manis
Atau, berselingkit di pasar-pasar.
Mengisi pengembaraan, tak menyerah kepada lindu.
Kota ini Kota Padang,
tempat pengembara berurat akar.
Pengembara muncul,
pengembara hilang.
Tinggal segala macam perangai
perangai baik bak pelita maharaja
Padang lebur dalam cinta
Namun, perangai buruk bak si rusak imperialis
Padang remuk dalam gulita

Padangpanjang, 27 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar