Jumat, 16 September 2011

Puisi Robbi Saputra El Kuray

ROBBI SAPUTRA EL KURAY, lahir dan besar di kota Bukittinggi, 21 Desember. Tumbuh dan berkembang dalam tangan tangguh dan kebijaksanaan sang Ayah, serta dalam kasih sayang dan tempaan Ibunda tercinta. Mulai menulis puisi sejak duduk di bangku madrasah, mengasah rasa dengan memerhatikan kehidupan sekitar, membangun jiwa dan kepekaan. Merefleksikan diri dalam setiap tulisan-tulisannya, sehingga menulis puisi baginya adalah sebuah pencitraan diri akan makna lahiriah dan pemahaman hakikat rububiyah al Ilahiyah. Ia saat ini masih mengenyam pendidikan di Universitas Putra Indonesia, Padang. Jurusan System Informasi, dan bekerja disebuah apotik di kota Padang sebagai seorang asisten apoteker.

RONA RUMPUN  ANAK NEGERI

Gemericik anak sungai memapah telapak kaki telanjang anak negri menarikan rona senja

Mengulur senyum merekah sepanjang nadi yang berdenyut merapal alur gerak angin

bisu mereka terbaca dari keruh _tak lagi jernih_ mengalir sepanjang debur budak-budak berkecipak menghias sore sebelum pekat hari

Sementara,di sudut-sudut beranda serambi depan para ibu sibuk menganyam tembikar, bila esok perut tak lagi teralas hasil ladang dan sawah tak menghasil padi

Lumbung-lumbung teratak symbol tak lagi isi, lapuk dilekang siang menjamah, pasrah…

Langkah gontai garin masjid setengah berlari, tersapu sapa tak hirau lalang

Semoga tak telat menabuh beduk magrib yang sebentar tergelincir di ufuk barat..

Pucuk-pucuk akasia merampungkan mamahan terakhir mentari di sudut hijau yang mulai menganga terambah padam merah merekah sepanjang tepian…

Gelak tawa pekerja yang pulang dari membalik bumi di kedai-kedai kopi, perintang lelah pengganti keringat yang sumbang, berkisah tentang pemerintah yang korup

Sampai mahalnya biaya sekolah anak-anak mereka, tak lagi tampak menghias..

Telah menghabis masa di coretan langit peradaban, tak terlihat lagi rona rumpun anak negri  

Walau tak hilang jua pesona auramu untuk dijejak semusim ke semusim yang semakin pirang,

Oleh perantau yang terlepas diakil baligh anak lelaki kesayangan emak..

Agar jaya masamu matang di negri orang, pulang membawa bekal mengasuh kemenakan..

Tak mengubah tuah negri menguap di cerobong asap-asap mengepul kontradiksi..

Dalam retasan paradigma, telah ku teguk senyum ramahmu menjamah setiap masa..

Walau tak kutemu titik cerita sejarahmu, selain dibalik pelataran saksi bisu wajah-wajah dalam potret..

SENANDUNG ANAK PESISIR

1/
Lalu…
Kami bercerita tentang anak-anak sungai yang mengalir ke Muara
Tempat melabuhkan asa berlayar ke tengah samudra,
Cerita itu menyeruak kenangan tentang jembatan Siti Nurbaya
Ribuan kaki bahkan kawanan kuda besi melalui setapak tepian pesisir negri ini
Disaat kami beterjunan menyulam tubuh dibening air samudra Hindia
Berteriak lantang menyambut kapal-kapal yang merapat atau menyeru mereka yang
siap mengangkat sauh
Selantun  himne syahdu negri ini terlahir kami yang menjadi suka cita dan nestapa
Negri yang terkembang dengan tutur bahasa, budaya dan keindahan

2/
Pesona yang tak pudar oleh usia dan lekang waktu yang merampung sejarah kejadian anak negri
Ratusan tahun menegak nafas mengeja langkah masa, masih tampak di elok rupamu
Kemana sejarah akan terupa tanpa sosok tepianmu yang landai permai mencipta anak-anak rantau yang tangguh
Tak punah tegak, tak mati nafas merapal kaji
Tersebut sudah hingga ke negri jiran,
Jelas sudah jalan terkembang, pun jejak yang tak terhapus pekat peradaban
Maka inilah sudah tepian kenangan masa lalu dan rintisan masa depan

3/
Walau tergolek mengenang derita yang tumbang karena jaman
Tak begitu saja luluh merapal tapak yang kokoh menyemai asa kebangkitan
Gempa yang datang tiba-tiba telah meratakan airmata,tapi tidak semangatmu
Tersebab jalan kebersamaan menggoyang kaki untuk saling mendengar
Keluh tak lagi menjadi, di ranah yang damai dan penuh cinta kasih
Tak ada yang mengalirkan airmata, kecuali ada yang menghapusnya dengan tangan kelembutan
Dan tegak kokohlah jiwa setelah ujian menerpa bertubi-tubi di negri ini…
Senandung kami semakin lantang menyeru semesta..

4/
Katakan saja pada orang lalu yang takjub…
Di sini terlahir puluhan orang-orang besar yang mewangi di pandam-pandam mereka
Menumpah darah, menggunung keringat untuk meneriakkan seucap kata ”merdeka”
Hingga lantang suara, kokoh kepal mempertahankan kota tercinta…
Di altar itu…
Setangkup darah telah tumpah.
Maka sibaklah sejarah, kita akan menjadi besar di sini. 

 5/
Nyanyian ini belum usai sampai kepada langit yang tinggi..
Tempat dimana mimpi-mimpi tergantung begitu rupa
Pucuk tertinggi yang akan membesarkan kita dan keharuman kota tercinta
Pilar dari bukit-bukit yang mengelilingi
Hingga tepian pantai yang mempesonakan senja
Rumah bagi kami anak pesisir, yang menyenandungkan ibu pertiwi.

Padang, 12 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar