Kamis, 29 September 2011

Puisi Thoni Mukharrom I.A

THONI MUKHARROM I.A, lahir tanggal 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Saat ini aktif kuliah di Universitas PGRI Ronggolawe (UNIROW) Tuban, program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Pada tahun 2010 beberapa puisinya dimuat dalam antologi penyair Bulan Purnama Mojokerto dan dibukukan bersama 243 penyair dari seluruh Indonesia. Serta Antologi puisi terbarunya Sehelai Waktu bersama penyair Jawa Timur yang diterbitkan Juni 2011.

KITA PUN SEMAKIN TERSESAT

kita menapaki hidup terlalu pedas
seperti batu panas di atas aspal
mengelap gelap

aku  tak mampu membaca  cara menancapkan kaki ke tempat yang benar
atau hanya sekedar meletakkan pakaian bekas kencing ke rendaman air bak mandi

kita seperti dua ekor burung di hutan tanpa seorang pun penghuni
bercicit-cuit menghibur diri sendiri
mencari makan
mencari senja yang tak kunjung tiba

sayang, kita yang melenggang memanggang nasib, terlalu naïf memaknai udara
berkejaran, saling tak tahu arah darimana kita dilahirkan

setahuku langit akan terus bewarna biru
udara terus memasuki paru-paru dan membuat kita memahami bumi

ada orang kaget mendengar kentutnya sendiri!

kita pun takut meneruskan perjalanan yang semakin memanjang
dari leher menuju laju baju dastermu

29092011

CERITA IBU SAAT MENUDURKANKU

Di kota ini tumbuh kisah seorang anak durhaka
            Di masa silam sebelum kalam berubah semakin kelam

Dinding gedek berdetak saat angin menggertak
Dicari batu besar,  dilubanginya
Menidurkanku dengan pelukan secangkir teh

Satu masa dalam kisah turun temurun
Hingga sampailah pada telingaku
Saatku tetap rewel, ibu mendongengiku
Berharap besar nanti aku berbakti

ibu mulai cerita;

Dahulu di sebuah negeri hiduplah seorang anak, ia ditinggal mati ayahnya. Ibunya  merawat dengan seribu kasih sayang. Sampai suatu ketika sang anak tak tahan miskin. Berangkatlah ia menyusuri samudra. Di atas kapal kehidupan.

Sampailah di suatu pulau. Ada gadis jelita bermata berlian longsor hati padanya. Dinikahi gadis bermata berlian, berbibir delima. Penjara menjadi istana. Anak biasa menjadi pangeran. Batu jadi permata. Kemiskinan berganti kemewahan. Ingatlah ia pada kampung halaman. Perjalanan dipersiapkan. Berlayar sampai ke kampung halaman. Di dermaga ada wanita tua membawa tongkat ranting kayu. Megharap pengakuan pangeran berwajah permata. Matahari menyilaukan wajahnya, hingga tak bisa melihat wanita tua. Sang wanita putus asa, asinya tak berguna. Sang pengeran merasa tak ada apa-apa.

Waktu bertukar tikar. Kembalilah ia ke istana. Disana samudra mengamuk meremukkan. Hancur malam berganti pagi. Pagi tak lagi mengharumkan sisa-sisa borok. Bangkai tertimbun amuk laut. Pangeran berwajah permata tak betah tinggal. Kembalilah ia ke kampung masa lalu. Ada seorang yang mengaku bernama ‘Ibu’ berbaju abu-abu. Membawa tongkat sihir, sang Ibu menyihir seluruh kampung menjadi mengapung. Beruntunglah yang dulu menuruti perintahnya— membuat perahu. Sang pangeran terpikat, ingin ia memperselir. Tapi sang wanita tak ingin suci ternodai. Disihirnya sang pangeran menjadi batu. Sampai suatu ketika menjadi candi. Dipuja-puji setiap hari. Sang wanita merasa lelah dan ingin hidup abadi, ia menyihir tubuhnya sendiri menjadi batu. Menjadi hiasan dan kerap berubah lukisan.

Kulihat ibu menitikkan airmata
Aku tak paham
Ibu tertidur pulas
Aku menatapnya malas

Ibu tak bangun
Menahan sesak dadanya di dalam dadaku

Sampai dahiku ditumbuhi janggut
Aku tetap ngotot ibu tak pergi karena cerita tempo hari

Anakku ingin mendengar ceritaku, ia nangis dan tak ingin tidur
Aku terpaksa. Kuceritakan lagi cerita ibuku.

Tuban, 120911

Tidak ada komentar:

Posting Komentar