Senin, 05 September 2011

Puisi Yori Kayama

YORI KAYAMA, lahir 1 Mei 1990 di Pasar Lakitan Kecamatan Lengayang Pesisir Selatan. Sedang menyelesaikan kuliah di Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. Bergiat di beberapa komunitas yaitu, Teater Nan Tumpah, Halaman Pantai dan Ruang Gelap. Puisi-puisinya tersiar di sejumlah media lokal dan media online. Buku Puisi yang pertama adalah Tempurung Tengkurap terbitan Koekoesan Depok.

DI PANTAI PADANG,
AKU MENGINGAT BEBERAPA KEJADIAN

I

/Kematian/
di kelok keberapa lagi aku akan menemukanmu
sementara hari masih setengah gelas susu lembu
bahkan roti hambar sudah menjadi teramat asin
setelah lepas dari bibir kepergian; laut yang terbiar

ada jalan lain setelah kita membikin ketan durian ala kampung cina
aromalaut telah membuka beberapa lembar ingatan
tentang malin yang lupa cara berdiri
atau nurbaya yang tidak mengenakan kepala
padahal angin telah belajar cara memberi

di kusut matamu dan di rindang alismu
semacam suar di bukit lampu menyala-nyala menjadi airmata
bagi pelepas kepak yang lelah menerbangkan igaunya
ke laut lepas; tempat pusaka semakin terbiar

“hedaknya kita selalu bersulang”, katamu.
sehabis segelas kita akan menduduki punggung kerbau
memanjangkan tanduk buat bekal esok pagi
sebab kematian hampir datang
membawa kabar inihari akan menjadi terbagi

aku akan terus hidup dari beberapa mitos muasal
dendang saluang atau gamad balanse madame
dilisankan dari lidah pejalan hingga menuju rantau jauh
lelaki minang harus biasa menjaga apililin
supaya tak padam sebelum kutukan itu datang
“jadilah perantau, nak. Jika tidak kau akan siasia
menunggu tua di ujung matabatu “

/kepergian/
yang kau ingat yang aku ikuti dari jalur gunung padang
adalah arusmu. ia tercium dari limau sehabis peras

datang kemudian pergi, alamat yang terbuang dari suara deruh
Menyahut kita selepas berciuman di bioskop pasar raya

adalah yang diam menepi menjadi butiran nasi
ke sudut bibir mana kekasih akan menolak kawin
kalau tidak mamak yang menjadi tuannya

/kenangan/
Yang diupat sebagai lancirik masam
Berangkat dari kisah perempuan bungkuk
Sebalik ombak belakang bukit mereka
Ialah menyudut ke barat daya orang-orang belanti;

setelah lama menjadi batu ia sekarang adalah hujan
menjemput kanakkanak pulang ke subarang padang
persimpangan menuju pantai airmanis
tempat kekasih menjahit baju pengantin
sebelum ia terlahir menjadi kutukan

/kecupan/
adakalanya kita harus merapat ke sebuah taman atas gunung
melihat kisah percintaan yang tragis
aku mengecupmu nurbaya yang ditentang orang sekaum
sebab bibir kita tak pernah jatuh di tepi muara

/pertemuan/
untukmu kulaju, kukayuh sampai pulau nan jauh,
di kesatu sentimeter matamu aku berangkat ke tanjung,
wahai perempuan, aku telah menunggu pagi di laut ini:
menghitung raja, mengulang tambo ke akar mula
 
kemudian kita remah hingga menjadi bagian dari dagingmu
di rahimmu aku menanam sepucuk kenangan
berlebih ke ujung kakimu
sampai mana kita akan berjauh pandang
dari padang yang memanjang,
sedang jantung kian berdetak kencang
adakah seutas rambut masih terjalin
ditiap gerak sepanjang alismu

igau kita semakin larut dalam bara yang kian laut
pengobat dari rahang yang sakit
membentur ke sebuah pertemuan—intuisi

II
di kematian, di kepergian yang bakal datang
kenangan  adalah sebentuk perjalanan
menjadi kecupan pada awal pertemuan
antara ombak purus dan orang padang ada yang tergantung
menyerupai rindu.
semacam puisi telah menjadi pengingat di ujung temu
sebelum kita berhenti memetik tragedi

Padang, 2011

OMBAK NGAMUK DI PAGI HARI

ombak kurus, ombak yang fasih mengingat riwayat dengan pilinan akar tunggang
tempat orang belanda menjual ampalam pauh. sampai jauh ke surau gadang

ada yang bilang kerbau dijual di pasar kuranji. tempat orang tua dulu putus kaji
di antara makam yang tergambar setentang belahan dada orang nias. menarik cemas
ke pangkal mula. di sungai harau kita merawat pertengkaran; kenangan--kepergian

ombak gila, ombak yang memapar ke segala arah. di kampung cina mereka
menjadi kanakkanak. bermain hujan, merawat ingatan sampai panjang

di tanjung. di amukmu yang pisau raja-raja menjadi ampalam jatuh
ampalam pauh batambiluak di ujung tubuh--tempat perempuan bugis berjualan buah duku

rempah yang terjarang di tungku itu adalah hasil tukaran orang-orang koto tengah
mula padusi berkain basahan setinggi dada menjulaikan rambutnya
mata yang pajam di batu asahan sepanjang ombak pantai padang

ombak kurus, ombak yang fasih mengingat riwayat dengan pilinan akar tunggang
bermain kaki, bermain irama seperti si rancak berangkat ke manggopoh
sepucuk pistol, senjata tajam adalah alamat kita memulai kematian
tentang sejarah; diapungkan sejauh entah

bila kalian atau mereka menjadi sesuatu yang dapat diputar-hentikan
maka belajarlah menjadi diam seperti jangung bakar
dipanaskan hingga menjadi cicipan orang-orang lewat
kampungku dengan segala dendangan rebab
menjadi ngamuk di mula jadinya hari--ombak yang menjadi-jadi

Padang, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar