A’YAT KHALILI, penulis muda yang bernama asli Khalili. Ia lahir di kampung Telenteyan, Desa Longos, Gapura, Sumenep, 20 tahun silam. Kini sedang nyantri dan mengabdi sebagai guru nonformal, seperti mengaji dan bimbingan khusus santri baru di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk. Sebagai penulis, ia telah banyak memenangkan berbagai lomba, baik tingkat lokal sampai nasional, di antaranya; juara 2 lomba cipta puisi tingkat remaja nasional di Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 2006, juara 1 lomba cipta puisi tingkat remaja Jatim di Taman Budaya Jatim 2006, juara 1 lomba cipta puisi di Teater Kedok SMAN 6 Surabaya 2007, Juara 2 di STAIN Purwokerto 2009, juara 1 lomba the spirit for indonesia 2011, nomine lomba cipta cerpen tingkat mahasiswa Nasional di STAIN Purwokerto 2011, nomine lomba cipta puisi Pariwisata bertajuk “Batu Bedil Award 2010” Lampung 2010, nomine lomba cipta puisi FTD FLP Riau 2010. Sedang mempersiapkan antologi tunggalnya; Pulau yang Tergantung (Puisi), Pulau Garam (Novel), Kerapan Sapi (Cerpen).
PADANG, CINTA TAK PERNAH SIRNA
ingin aku bercerita, bahwa langit yang kita lihat
setiap saat, terlalu indah. tak pernah terkira
kita akan sama-sama termangu memandangi
para perantau di atas sana. senandung tembang
yang lama kita lupa mengabarkan cinta kita lagi
bumi sanang padi manjadi
taranak bakembang biak
tapi entah, kau memahaminya. ingatan yang dilupa
hanya menjadi getar. kau menatap ke cermin
tak sanggup membedakan wajah kita yang sama
di sini, kota yang dibangun dengan sisa rantau
menjadi ayunan kita bersama. senantiasa rekah
dan wangi darah masih menunjukkannya abadi.
selalu ada yang tak bisa kutuliskan. tapi, kini
ingin aku bercerita sayang. mata kita yang basah
merangkai kucuran itu. laksana celah malam
paling setia menemani kehampaan ini
kau lihatkah;
suatu kali pernah tertulis dongeng-dongeng pembatuan
di situ. gemericik serunai bercampur randai
mengiring pelayaran-pelayaran ke entah
maka mustahil, aku lupa mengisahkannya padamu.
tapi cinta, tak pernah sirna. meski jejak berkalang dataran
kemilau tanah menyeka rambut. maka, getar dada kita
bak pertunjukan itu lagi.
dengan senyum dan peluk hangat
di bawah cahaya jingganya, aku tahu kita amat bahagia
menamai pengembaraan, meski hanya dengan getar saluang
dan dendang. bukankah itu, yang kerap kau tanyakan?
kini, mesti kupetik lagi sayang. hanya gerak lagu dan rindu
sanggup mengenangkan, bahwa di sini, suara kita masih tertanam
senyum para sanduak di tengah ringkih nada, terus berkelekar
mengamini sejarah
agar mata kita tak tersedak pada sebuah falsafah
dan melihat bagaimana langit itu pernah retak
ah, sungguh kau pun sama sepertiku! selalu menyukai
banyak kecengengan. tapi, kau mulai dengarkah lagu-lagu
mabuk itu, alunan disko, deru kereta, riuh gelombang
segalanya memberat di perlintasan jalan, sayang.
kulihat, perlahan kau mengangguk. bukankah, cinta memang
tak pernah sirna. jawabmu sekian…
Dari Madura, Jogja, Purwoketo-Madura, Mei—24 September 2011.
PADANG, MATA KITA YANG PEMALU
begitu lama aku membayangkan diri kita
menyimak gerimis turun memercik di kaki-kaki gunung
melukis goyah pepantun dan bunyi saluang
melihat berumpun-rumpun rumah gadang yang tegak berdiri
di setiap datarannya. kedua mata kita pun malu-malu
menatap kerlap-kerlip itu
di manakah jejak itu, masa kanakku?
ketika keletihan menggantikan keringat jadi nyeri
getar saluang mendongengkan cerita si malin lagi
hikayat yang terpecah antara silsilah tanah kita
dan upacara terserak sepanjang lelembah
tapi di sini adakah jalan singgah? tanyaku dalam peta
sembari menutup bibirmu dengan randai pesisiran
musim kemarau. ilalang-ilalang menancap di kaki
perlahan kita dengar lagi pepantun itu
karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di kampung baguno balun*
jauh sebelum ingin kau ceritakan lagi padaku
; kalau tanah ini dulu mandi darah
suara serunai yang dipamerkan nenek moyangmu
untuk orang-orang penguasa
sementara musim-musim mengganti kelahiran baru
dan upacara pasambahan kembali mengantarkan kita di sini
ketika bunga-bunga menyerbak bau ingatan
kucintai lagi kotamu
album tua sekawanan gurau
(lingkar jagat milikmu, milikku)
tapi, langit tak lagi cemburu, oleh mata kita yang pemalu.
Sumenep, 22 September 2011.
* Berarti; Keratau madang di hulu/ berbuah berbunga belum/ merantau bujang dahulu/ di kampung berguna belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar