Selasa, 13 September 2011

Puisi Hifzil Irsyad

HIFZIL IRSYAD, lahir di Kota Sawahlunto, 9 Februari 1996. Salah seorang siswa SMA Negeri 1 Sawahlunto yang sekarang duduk di kelas X. Hobi menulis Puisi, Cerpen dan berdomisili di Komp. MTsN Sawahlunto RT 02 RW 02, Kelurahan Lubang Panjang, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat.

ADAT PADANG NAN TATUKA

Tanpa bercak darah
Gema bergeming terasa gempa
Insan bergemuruh tanpa bersuara
Tertipu dengan kelap kelip  disekeliling kota tua
Apapun itu, aku tidak ingin mengetahuinya
Mencoba mengkosongkan fikiran sambil menutup kedua telinga

Hewan hewan mengamuk
Dasarnya itu bukan mereka
Alam juga begitu
Berusaha mengahancurkan buatannya sendiri
Lembah, pasti hanya sebuah lembah
Bukan tempat pengumpulan dosa dosa
Bukan tempatnya para para pencipta sihir hitam
Mereka terlalu percaya akan kekuatan jalan pintas

Rumah gadang tak pernah menembus awan cerah
Mereka takut, Galau,Ragu
Akhirnya mati,dimakan para tumbal kekayaan
Sang pemimpin memang ada
Bahkan tak pernah henti berkoar koar dengan bijaksana
Namun hanya sepintas, lalu lupa

Tebak apa yang terjadi selanjutnya!
Anak sebaya tak kunjung puas
“Kapan dia menagis mak”? Kata adiknya?
“hanya sekali, seumur hidup”? Kata ibunya

Bundo kanduang akhirnya lemah menanti kepulangan anaknya
Tak ada kabar, tak berharab, tak berusaha
Sang ayah lupa dengan siapa perannya
Hilang!!! Dan berusaha memulai titik titik perintah pada zaman baru
Siti nurbaya hanya bisa seperti itu
Tak berubah…
tak bangkit….
 bahkan semakin menjadi jadi
Sang mamak entah kemana
Tak peduli,lalu mencampakan anak sedarah
Meninggalkan luka terbuka, lalu mati dan tak tahu apa penyebabnya

Coba teriak
Tetangganya pun melihatnya ke bawah,lalu mencibirnya
Memalingan kepalanya
Lalu berkutuk sumpah, serapah dalam hati

Satu sama lain semakin menggila
Semua wajah sang pemimpin suku di injaknya
Adat pun hanya terkubur di bawah lumpur
Tak kokoh bahkan hancur bekeping keping
Berusaha memotong tangannya sendiri, lalu memotong leher nya
Melahirkan buah hatinya dan membunuhnya

Batu batu amanah pun terlempar hinga hilang di pelupuk mata
Berusaha mendiamkan para insan yang merasa benar akan pendiriannya
Yakinlah!! Putra padang tak akan pernah bangun
Dia telah layu
Dia telah lemah
Telah lupa! Bahkan pergi entah kemana
Hanya tubuhnya yang tertungkup di rumah gadang
Arwahnya teriak teriak kegirangan
“Aku bebas…..!!!!
Aku merasakan kebahagian diluar
Aku tidak akan pernah melihat orang orang mengikuti kemauannya
Lebih baik aku pura pura tidur ,dan tak tahu menahu tentang apapun’

Sementara…
orang nan tertua merindu
Mencari putra dan putri lainnya, namun tak kunjung ada
Tak lelah sujud syukur atas karunia tuhan yang satu
Hingga ia pun berkata
“Tak akan pernah terkumpul melalui kertas kertas
Tak akan pernah ada persediaan untuk pita suara ke dua
Tak akan pernah ada umur untuk terus memberi makna
Adat adat yang tertuliskan
Hanya makna yang seluas pantai padang
Hanya sebuah pituah Benar atau Tidak
Berharab akan selalu sekuat batu malin kundang “

Biarlah ..
Biarlah senja berlalu
Memotong tali dari akar akar yang kuat dan berkata pergi
Sambil berteriak
Sampai semua orang diam
Sampai semua orang berubah
Sampai semuannya terkutuk untuk sekian kali
Sampai semuanya lumpuh,tak bisa mendengar ,bahkan buta
Hingga mereka pun Terjun dari jurang kehidupan
Lalu mati di hempas karang.

MALIN KUNDANG

Bersajak kata kata bermandikan mutiara
Mengalun alun…
Meremas remas hati hati nan pilu
Mencengkram!!! Bergemuruh, lalu terdiam betapa agungnya kekuasaan tuhan
Tentang susu di balas dengan air tabu
Tentang kasih dibalas dengan kebencian

Bagaimana memetik sebuah mawar di tengah lumpur
Hingga panas bumi berkoar koar dan berpeluh peluh
Malaikat,hanya mampu mencatat perbuatannya
Bagaimana kasihnya selembut sutra
Tak kuasa akhirnya tertawa juga
Membanting tulang, berharab akhirnya bahagia

Sesosok cahaya benderang memisahkan mereka
Terlihat dengan gagah perkasa ,
Sang ibu menciumnya lalu pergi dengan tangisan mereda
sang pemuda yang kuat akhirnya Berlari menempuh sang samudra

Lihat!!!
Burung burung berterbangan melepasnya untuk pergi
Mencari kedamaian disana
Mencari bukan hanya untuk sesuap nasi
Untuk jiwa
Kemakmuran!!
Dan kedamaiian!!

Tapi ia hanya sebuah sampul buram
Di dalamnya dia, tak mencantumkan apa apa
Ia hanya memandang lurus tak berpengalaman
Mugkin dia lupa akan orang orang berjasa yang menyertainya
Kenapa bisa lupa???
Mungkin jiwannya telah mati,
Tak ingat lagi atau ia telah pergi terlampau jauh

Hingga kutukan pun datang menghampirinya
Ketika darah daging tak pernah di akui lagi
Tentang jantung yang mati namun masih sempat menaggis

Seperti kematian di ujung tanduk
Ibunya yang tua renta menanggis tak kuasa
Bersimpuh mencabik cabik tubuhnya
Mengikat hartanya lalu kembali dan mengiklaskannya
Tak kan pernah ingat nadi yang memberikannya nyawa
Berjuta juta rupiah tak kuasa dan tak terhingga di matanya
Di teteskannya air mata nya di derasnya ombak
Menaggis berkutuk dan sumpah serapah

Tuhan pun berkuasa dan akhirnya membalasnya
Alam bertindak seperti sang macan yang di ganggu gugat
Air menjadi dilema bak mulut sang raksaksa
Lalu  menghancurkan mahkotanya
Meremukan segala galanya
 Menghilangkan apapun yang di milikinya

Tanggisan bergema gema di tengah lautan
Memohon ampun
Memotong motong lehernya
Dan menyesal seakan ingin lari dari hidup

Kenapa …???
Karna dulunya dia telah lupa!!
Ia menjual dirinya
Membasuh mukannya dengan air panas
Mengobrak abrik kamar sang pituah
Menahan galau dan air mata
Menahan sumpah serapah tak kuasa
Malu menjadi tiang tertinggi di dalam hidup
Akhirnya si anak durhaka terkapar tak berdaya
Memohon ampun
 Namun! Apalah daya
Semuannya telah terbang, sedetik sebelum kematian

Kenapa penyesalan itu terlambat
Bersujud dan hening seakan tak terjadi apa apa
Menaggis,namun air mata tak kunjung ada
Semuanya telah ikhlas
Semua orang sudah tahu
Tak perlu berteriak hingga terlebih lebih
Bahwa yang bersujud itu
Bahwa yang telah menjadi batu itu
Bahwa yang memohon ampun kepada semua umat itu
Adalah….
Malin Kundang

2 komentar: