Senin, 05 September 2011

Puisi Ryan Syair

RYAN SYAIR, lahir di Solok 24 Januari 1983. Bertempat tinggal di Komplek Rindang Alam Kecamatan Pauh, Padang. Sejak tahun 2005, bekerja sebagai wartawan di Harian Pagi POSMETRO PADANG. Pernah mengenyam pendidikan di Akademi Ilmu Komunikasi Padang (AIKP), Jurusan Jurnalistik dan kini tengah melanjutkan study di Fakultas Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Pada tahun 2008, menulis buku autobiografi Wali Kota Padangpanjang dr. H. Suir Syam, M.Kes., MMR, dengan judul “Suir Syam Anak Petani”.

SAJAK UNTUK KAMU I
"Alamat Kembara"

ku tulis sajak ini untuk kamu
sajak dengan sembarang kata-kata
sambil menyendiri di kamar,
ku reguk habis setiap langkah malam di kotamu
malam yang serasa kian merayapi sekujur kesunyianku

ku tulis sajak ini untuk kamu
sajak dengan sembarang kata-kata
sambil menyendiri di kamar,
ku hisap tajam setiap hela nafas raga di nadimu
melangkah menuju alamat kembaraanku

ku tulis sajak ini untuk kamu
sajak dengan sembarang kata-kata
sambil menyendiri di kamar,
ku hujam setiap batas kenyataan di takdirmu
agar sempurna penempuhanku

ku tulis sajak ini untuk kamu
sajak dengan sembarang kata-kata
sambil menyendiri di kamar,
ku deraskan gejolak itu selalu
biar menguntitmu di setiap jalan dan kelokan

ku tulis sajak ini untuk kamu
sajak dengan sembarang kata-kata
sajak dengan satu dua dusta

Rindang Alam, Malam 17 Ramadhan 1432 H - 17 Agustus 2011

SAJAK UNTUK KAMU II
"Tinggalkan Kemarin"

P-ernahkan kau coba diam dan sekejap renungkan,
A-pa jadinya malam tanpa siang, yang jelas tak ada terang
D-unia akan selalu berselimut pekat dan kelam, yang jelas hanya akan ada hitam, legam, buram.
A-dakah pernah, betapa mirisnya tuan bayangkan,
N-asib anak-anak negeri di ujung abad era kemerdekaan, yang jelas tak rasakan perang
G-aung mereka menyerak koyak, nafas mereka pilu meradang tegang, yang jelas tak sekoyak dan tak sepilu takdir para pejuang.

K-epala-kepala memerah dibakar gelisah, dendam, dengki dan amarah
O-nak dan duri kebencian bersemayam, dalam, di dasar sanubari
T-ak ditemui lagi nurani, sangat langka budi, nyaris hilang pekerti, entah kemana merantaunya hati
A-dalah kejalangan, adalah kebuasan yang membelatungi jiwa, buas yang tak pernah merasa puas, buas yang tak kunjung mati.

T-ertulislah kisah dalam lembar catatan sejarah
E-mansipasi bergejolak didihkan darah, membakar selaput-selaput gairah
R-aut-raut pasrah yang tergolek resah, bangkit
C-epat-cepat mereka memburu, berpacu menjemput ketertinggalan
I-mpian tak lagi sebatas kejar dan berlari, kejar dan lantas bersembunyi
N-ilai-nilai tak lagi sekedar ukiran di batu prasasti, ukiran yang lantas hilang bak ditelan bumi
T-inta emas telah tergores
A-lam dan seantaro langit kota Bingkuang menjadi saksi, saksi, saksikanlah ;

K-uranji tak pernah henti berlari
U-lu Gaduik tak betah diam berdiri
J-ati tak malu melaju
A-ndaleh tak letih memburu,
G-auang kian hanyut dalam tarian
A-nduriang seperti tak mau ketinggalan

D-iam tak selamanya bisu
A-man sejahtera, rakyat mendamba
N-yaman sentosa, harap mimpi di tidur semua

K-epakkan sayap, terbanglah tinggi mengitari angkasa raya
U-sung perubahan, wujudkan mahligai istana berjuta asa
B-asmi angkara, semai dan suburkan benih-benih cinta antar sesama
E-nyahkan duka, putus belenggu nestapa yang melilit sukma
L-ari, tinggalkan kemarin, menapaklah untuk esok, lusa dan masa depan
A-yo, serentak kita teriakkan, PADANG KOTA TERCINTA KUJAGA DAN KUBELA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar