Kamis, 29 September 2011

Puisi Wishu Muhamad

WISHU MUHAMAD, lahir di Bandung, 1990. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bergiat di ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra).

GADIS MINANG

Barangkali, akan kujumpai kau dibaris puisi ini. setelah langit pertama membenamkan gelap ke relung sungai dan cabik tebing yang ringkih. engkaulah si pawang yang pandai mendongeng. tentang ampalam kering yang lindap di batu kenangan. berloncatan jadi lukisan, gadis minang yang tak pernah mau di pinang. kembali kuingat kau disini. di khayalanku yang sebentar-sebentar tersandung. bahkan terjatuh.

Kubayangkan kau berhamburan bagai gerimis di awal oktober, menepikan obrolan singkat  atau jingjitan kaki di pasir putih yang merepih kerih bagai susutan pasir di mata kita. singkat dan keramat. dan di ombak puruih yang mengamsal udara di benak kita, burung-burung mengabar janji, kapal-kapal mengantar pulang cinta yang kadang tak berkabar. lalu aku akan menamakan ini aubade orang sebrang.

Kubayangkan kau bersandar di dinding sebuah losmen tua, bercerita tentang sandiwara batang kapeh atau ratap bagindo Usman*. kunikmati pula lantun sijobang  atau orkes gumarang dan tari indang. Kubayangkan seandainya aku benar disana dan menarik tubuhmu ke tubuhku, belajar memegang piring dan mulai menari, membaca isi hati.

Lalu tubuhmu yang menggeliang liar seolah menggelar jejak datuk si pengajuk hati. mengingat kembali Marah Rusli, atau berfoto-foto di jembatan nenek moyangmu. kita dibesarkan dari pengorbanan. meski kabar tersiar cinta terkapar dan jerih paksaan ini telah mengakar

Ketika nanti kita berdiri di kota tebing ini. sambil benar berjanji untuk saling menali puisi, berkaca dari sungai yang mengalirkan anak kita, batang bayang. makan ala kadarnya meski pedas lugas menukas lidah, tak mengapa, asal kau setia menjaganya, menjaga resep percintaan dapur kita.
Kita yang menyelami teluk bayur, menjadi seseorang yang hilang dalam pengkhianatan. Seseorang yang salah dan kalah. Saat tali ari tersuruk di kulit bumi. Lalu, kaukah yang senantiasa setia merapatkan nasib perahu dan batu.

2011

*Sajak Esha Tegar Putra

INDUAK SAMBA*

Masih dalam puisi, kelak kita benar-benar menuju simpang,
dimana kutemukan tangan si pencincang yang lihai mengaduk rendang
atau itiak lado mudo atau bubur kampiun memamah lidah menuju satu kisah
dapur seolah surga menggiring lezat aroma gadis minang
di mana musim gerimis dan kemarau panjang tak pernah lepas dari wajahmu.
lautlah pembatas kita, hari-hari yang di ikat jadi puisi.
kata-kata lunak selalu ditambat ditumbuhkan

Akankah kita merasakan hawa romantisme painan, sayang
yang di bangun akar-akaran malu dan batu-batu kelu.
sambil bersantai di gubuk-gubuk Lubuk Silau dan membicarakan tentang kebaikan
masing-masing tempat tinggal. begitulah kita mengagumi segala rempah yang
berkumpul di meja makan, meski dengan menu yang sederhana tapi jelas mengundang selera

Kini, adakah kerbau yang mampir ke ladangmu, gadisku. adakah petunjuk yang mampu
mengantarkanku menuju dapurmu. kulihat surau yang bukan lagi bagonjong menghadap ke timur
ibu kota, gili-gili sudah tak dapat berpuisi, menyigi ikan-ikan kita
tak ada yang lebih kurindukan  di meja makan selain pertengkaran yang lucu
tentang Siti Nurbaya yang sebenarnya tiada, atau perdebatan antara kalio dan rendang
karena salah memilah antara kering dan tidak gosong, kaku dan tidak keras. walaupun
sebenarnya kita hanya menginginkan kegelisahan.
meski segenap yang ribang-lindap di kepala tak mampu kutuliskan

2011

*Menu Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar