Senin, 26 September 2011

Puisi Yadi Alfateh

YADI ALFATEH, nama pena dari En. Kurliadi Nf, lahir di Pulau Gedugan Gili Genting Sumenep, 18 Juli 1989. Menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep selama tujuh tahun. Menulis sejak masih duduk di bangku SMP sampai sekarang masih aktif. Karyanya pernah dipublikasikan dibeberapa media seperti' Kuntum, Horison, Radar Madura, dan pernah terpilih sebagai 20 karya terbaik dalam rangka lomba cipta puisi bahasa Madura di Balai Bahasa Surabaya

PADANG, KAMPUANG NAN JAUAH DI MATO*)

Dengan serambi lautmu yang berbuah lambaian nyiur
Teringat masa silam,
Dengan secangkir nira dalam darah
Dan madu yang kubeli diperempatan teluk bayur

''bumi pertiwi kembali menangis"
Kupahat dalam puisi dengan serutan air mata
Air itu terus menelanjangi daratan
Memakan setiap yang ad
;dijalan,cafe,restoran
Dan rumah tuapaun digulingkan dengan angkuhnya

Gempa,gempa....
Air,air,air.......
Anak kecil dengan senyum duka
Mengalir ditetanah,tak ada tangis jeritajuga sumpah serapah yang dilontarkan
Belum sempat mereka menguburkan cinta dan cita
Kepada negeri antah berantah

Kubaca lagi ceritamu
Alur minangmu berparagraf sunyi
Dengan tanda koma dan titik yang berdenyuseraya kulafalkan sakit jiwamu
Dalam tadarus mimpiku
Supaya langit tahu betapa dinginnya deritamu
Malam ini

Bernyanyilah padangku dengan tenbang pangestu
Dari doa rerumput
Dan ritme ombakmu yang berparas pesakitan
Dari pelepah air matamu
Dari panjangnya puisiku ini
Agar angin selalu berhembus
Dari doa doamu yang patah dimusim kemarau

Badarai air mato¤
Tulisanmu pada sejarah
Kampungmu yang indah,padimu yang siap panen
Telah usai disusunan abjad demi abjad
Dari jeritan angin badai dan tetesan gempa

Wahai minangku,
Seribu doa kutaburkan
Tujuh warna pelangi kutanam dijantungmu
Dengan pupuk rindu dan harum kemangi

Disini,aku dan sujudku
Selalu menyelesaikan ayatmu
Yang mengalir di sajadahku

Kemayoran, 2011

*) kampung yang jauh dari mata
*) badai air mata

SELAMAT PAGI IBU

Ini malin dengan kalung musim di rambutmu
Tak ubahnya rakaat batu bersetubuh melingkari angin
Pergi dengan menyambung nafas dan sesuap nasi
Agar esok jahitan dibajumu menjadi permadani
Berlapis embun

Diujung puisi,
Keratan urat nadimu
Melarangku beranjak dari gubuk tua
Karena kau takut janjiku luntur dipangkal sejarah
Kau duduk dengan bersilah
''anakku,ini rumah doa,pailah*
Restu ibu mengalir dilautan matamu''

Setengah bulan telah usang
Melempar kail tak harap kembali
Cemas berpagutan dibibirmu
Sore menjinjing,doa kau tumpahkan
Pagi menyulut aroma bengkoang
Kau siapkan menyambut malinmu
Kau bilang itu kesukaannya waktu masih kecil

Habis rakaat ke rakaat
Airmatamu tumpah dilekuk sajadah
Harap anak membawa tongkat raja
Lilinpun kau bakar,secangkir air tuba
Tujuh warna pelangi kau persembahkan
Buat sang anak yang tak pulang dari negeri seberang

Selamat malam malin,__
Ini ibu,dengan hati cemas menunggumu
Dipinggir laut,bayangmu masih senja
Ternyata kau sudah menjadi raja
Duduk tersenyum dengan congkaknya
Dengan sepatu suci bertahta belian
Dan sang bidadari dari kahyangan
''pailah* ibu,siapa mengaku anakmu??''

(doa ibu tak main main anakku,
Sekejap pula rahim batu ditubuhmu)

Malin sudah menjadi batu
Dengan nafas laut yang terus mengukir sejarah
Sampai ke teluk bayur,minamgpun kota
Kini,
Tinggallah doa
Yang tak henti ditelan waktu

Malin kundang.....,
Selamat jalan
Disini aku mengenangmu
Lewat padang berumput
Dan syair lautanmu yang berdegup
Di indonesiaku

Jakarta, 2011

*) pailah:pergilah dengan nada congkak,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar